SATU- Kumandang Azan di Langit Manhattan

16 3 0
                                    

23:56 PM -- Manhattan, New York 

Bangunan megah dari kaca baja itu menjulang bagai batang jarum yang tegap gemerlap menembus langit. Ada enam puluh dua lantai kamar dengan desain elegan disana. Sebuah apartemen termewah dengan dinding dan pualam yang di lapisi marmer mahal menjadikan kesan mahakarya yang menakjubkan, seakan setiap orang yang menginjakan kaki dilantai dingin itu merasa begitu tersanjung. Jendela raksasa besarnya dapat menyuguhkan gemintang yang berkilauan di hamparan kelam langit malam, terasa begitu dekat seolah mutiara berkilauan di langit itu terlalu mudah untuk di gapai.

Nun jauh di bawah, titik-titik lampu warna-warni yang dipancarkan Manhattan begitu indah memanjakan mata. Malam itu begitu cerah, East River mengalir, memantulkangedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan lampu-lampu yang bersinar keemasan. Di atasnya bertabur perahu yang merayap, membuat air itu beriyak. Semuanya terlihat kecil dari lantai teratas kamar apartemen seorang perempuan berambut panjang, dengan resah yang terlukis di wajah menawannya. 

Namanya Sena Utami, seorang potografer dan penjelajah yang kesepian. Sorot mata Sena kian kosong tak berjiwa. Seolah pemandangan spektakuler Manhattan malam ini hanya ilusi di kedua matanya hingga membuat ia tidak nampak terkesan walau hanya sekedar mengabadikan momen dari balik lensa kameranya. 

Patung Liberty berdiri anggun di bawah cahaya remang bulan terlihat begitu mengagumkan, yang paling menarik serta iconic setelah itu ialah Empire State yang dihiasi kaki jembatan Manhattan yang indah memandikan cahaya, yang sayangnya tidak membuat perempuan itu takjub meski secuil.

Sudah hampir tengah malam, namun kedua mata itu masih belum terpejam. Kedua tangan perempuan itu sesekali mengusap wajah lelahnya dengan kasar. Seolah ada suatu hal yang mengesalkannya. 

Rasanya hampa, Sena tak tahu apa yang dia mau. Yang dia rasakan hanya sepi yang lama-lama semakin perih mengancam nadi. Mata itu ingin cepat terpejam menyelami bunga-bunga mimpi. Namun benaknya, tak pernah mau berhenti untuk berpikir tentang hal yang tak pernah ia temukan. Dimana ia harus mencari ketenangan? Tak ia pahami lagi, perasaan hampa di sudut hatinya selalu membuatnya muak, rasanya seperti ada kepingan yang hilang, ada ruang yang kosong dan tak tau harus ia isi dengan apa. Rasa pening yang berdenyut-denyut menikam kepalanya setiap saat. Seolah ada belati yang menusuk-nusuk pikirannya terus-menerus, menghujamkan rasa perih yang tak bertepi.

"Mungkin mati, iya mati. Supaya bisa ku akhiri kehampaan ini ."

Bisikan dalam dirinya terdengar, tekad Sena sudah bulat. Ia harus mengakhiri hidupnya. Perempuan itu melangkah pelan menuju balkon, ia menutup mata, tinggal selangkah lagi. Ia akan bebas. 



Hello There :) terima kasih sudah mampir, hope you like it. 

Manhattan the City of FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang