DUA-Kumandang Azan di Langit Manhattan

9 2 0
                                    


"Mungkin mati, iya mati. Supaya bisa ku akhiri kehampaan ini ."Bisikan dalam dirinya terdengar, tekad Sena sudah bulat. Ia harus mengakhiri hidupnya.Perempuan itu melangkah pelan menuju balkon, ia menutup mata, tinggal selangkah lagi. Ia akan bebas, bagai burung. Tiba-tiba entah mengapa, sosok sang Ayah menyusup kecelah pikirannya yang tengah kalut. Tekad mengakhiri hidupnya sedikit memudar. Ia tak bisa mati sebelum Ayahnya berulang tahun yang ke tujuh lima. Beberapa hari lagi mungkin, Sena akan segera mengakhiri hidup, setelah ia melihat sang ayah untukterakhir kalinya.  


Sena tak tidur sepanjang malam, bahkan sampai cahaya matahari menyusup kecelah jendelanya ia masih terpaku pada langit-langit apartemen dengan renung yang tak pernah usai. Mata cokelat itu menyala karna diterpa surya, di bawah matanya tampak jelas bayangan hitam, serta garis-garis kaku disudut bibirnya. Sena benar-benar kacau. Kepalanya terasa berdenyut, dan ia merasa sedikit gamang. Kesepian memeluk tubuhnya erat, lalu Sena mendongkak melihat sepasang jarum jam yang saling berpelukan. 

Di luar cuaca cerah, langit terhampar luas tanpa awan. Sena harus tampak menjadi orang yang normal dan tidak terlihat babak belur sekarang, ada beberapa pekerjaan yang harus ia kerjakan. Memotret kota Manhattan yang ramai dan mengangumkan, ada sepi dibalik dada Sena yang tak pernah beranjak pergi. Sena mendengus, ia memang ingin mati namun ia tak ingin mati dengan cara kelaparan. Yap, perutnya mulai keroncongan.

Perempuan itu singgah di sebuah restoran untuk makan siang, restoran yang menyuguhkan masakan khas indonesia. Dalam hening, sambil menyantap nasi gorengnya Sena menatap seorang pramusaji dengan perawakan tinggi yang kesan wibawanya sangat kuat. lelaki itu bernama Iman Fathurahman, orang Indonesia yang hidup di kota yang asing dan bising layaknya Sena. Tapi lelaki itu tak semenderita Sena, wajahnya selalu terlihat damai, ia seorang religius yang mendirikan restoran halal di kota dengan minoritas muslim. Hanya beberapa kali Iman dan Sena berbincang, itupun sekedar bercerita tentang kerinduan pada kampung halaman. Kesan pertama yang Sena dapatkan saat bertemu dengan Iman adalah teduh dan damai, baik dalam penuturan dan caranya memandang sesuatu. Rasanya begitu memilukan, Sena juga ingin hidup dengan nyaman dan damai seperti Iman. Hidup Sena bagai kapal yang terombang-ambing dalam lautan, dan mungkin sebentar lagi ia akan tenggelam dalam samudera. Masa bodoh dengan semuanya. Hidupnya benar-benar tidak berguna dan tak ada harganya lagi. Ia harus mengakhirinya malam ini juga.

Sena memandangi setiap interior sudut restoran. Rasanya seperti sedang pulang, nuansa khas Indonesia sangat kental, aroma khas masakan indonesia menyeruak ke penciumannya. Rindu, tapi ia tak ingin kembali, ia tak ingin pulang ke rumah dengan kehampaan ini. Di samping kamar kecil terdapat sebuah mushola sederhana, di dalam mushola Sena melihat Iman dengan seorang pemuda yang terlihat terisak. 

Percakapan Iman dengan seorang pemuda berpeci abu-abu itu membuat Sena tertarik dan ikut mendengarkan dalam diam, 

"Jika kita terlalu memikirkan penilaian manusia, itu hanya akan membuat hidup ini sulit, langkah kita terhambat, dan hanya akan mengerdilkan pikiran kita, yang terpenting ialah penilaian Allah pada kita. Intinya, seburuk apapun manusia memandang kita, jangan pernah lelah melakukan yang terbaik sesuai syariat-Nya." 

"Apa salah jika aku ingin keberadaanku dianggap oleh mereka? Apa salah jika aku ingin dihargai oleh mereka? aku merasa sendiri di kota ramai ini " ucap pemuda itu dengan suara yang terdengar hampa.

"Ya ihkwan..mengaharapkan diapresiasi oleh manusia sampai kapanpun tidak akan pernah membuat kita merasa cukup, rida manusia hanya sepanjang lidahnya, tapi ridaAllah itu tak terhingga. Niatkan Lillahi ta'ala, kamu tidak sendirian, tidak pula kesepian."

"Sudah masuk waktu dzuhur." ujar Iman, kemudian ia beranjak di ikuti dengan pemuda berpeci abu-abu itu di belakangnya. Merdu lantunan suara Iman mengetarkan hati Sena, tiba-tiba saja terasa sesak, rasanya ia ingin menangis saat itu juga. Sudah terlalu lama ia tak mendengar suara azan. Sudah terlalu lama ia tenggelam pada riuh dunia, betapa lantunan lafadz azan ini dapat membuatnya begitu rapuh. 

"Allahu Akbar, Allahu Akbar.." "Laa illaha illallah.." Sena menangis dalam diam, kakinya bergetar dan mencoba berdiri tegak. Keringat sedingin pualam membasahi telapak tangannya. 

Ia merasa sukar bernafas namun perasaan hangat tinggal di ruang dingin hatinya.

Kumandang azan di langit Manhattan, menggema dalam pikirannya dan meremas sanubarinya, memberikan percikan keimanan yang telah redup, hati Sena yang gersang bagaikan padang pasir berubah memandikan lautan. Dalam sekian menit, semua resah yang menggunung di hatinya perlahan lenyap.

Manhattan the City of FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang