Permaisuriku

64 11 0
                                    

Wasta lelaki yang selalu saja menjadi tumpuan dan titik impian itu   Mahasura
Da   Meru, yang memiliki beribu kemilau di dalam kedua netranya yang menyua.

Lelaki dengan segala aksi dan reaksi yang selalu menjadi impian para pedusi hingga menawarkan segala abreviasi, lelaki dengan hidung bangir dan wajah rupawan yang sempurna itu sudah pula dimenangkan hatinya.

“Rayu mengapa saya merasakan hawa yang mengganggu? Apakah pasangan hidup saya ini tengah kembali memikirkan kata-kata orang yang tidak bertanggung jawab itu?” inilah Meru dengan segala bentuk kasih sayangnya yang selalu ia limpahkan kepada sang permaisuri.

Titik permasalahan yang sama dan selalu bergema mengitari isi pikirannya tanpa ampun, “Meru apa ini salah saya? Meru apa Tuhan sedang menghukum saya? Meru, apa saya seorang wanita yang sesungguhnya? Meru mengapa kamu memilih saya?”

Segala pertanyaan yang selalu mengendap kini ia keluarkan, tanpa memandang sang teman hidup akibat takut. Tak ada tanggapan yang mengudara hingga deru nafas keduanya terdengar dengan jelas, bahkan suara denting jam di ruang tamu terasa merangkak dengan lamban.

Rasanya memang wajar saja jika ia melayangkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu kepada sang suami, tidak ada yang mengada-ada jika itu memang bersangkutan dengan sang adam. Pada pertama itu hanya berupa sebuah tutur cakap yang ia anggap sebagai gurauan bersikap kaprah.

Tapi seiring berjalannya waktu yang kian melaju dan memakan usia, ia tak bisa lagi memperlakukan kalimat-kalimat itu sebagai lelucon semata. Hatinya sakit sangat dan teramat bagaimana ketika mereka bersuara dengan keras jika ia tidak bisa memberikan Meru keturunan setelah gugur dua kali, hatinya tercabik bagaimana para hawa di luar sana secara terang-terangan mendekati sang suami dengan agresif.

“Rayu jangan pikirkan hal yang membuat jalan milikmu terhalang,” tutur Meru dengan suaranya yang mengalun lembut, menyimpan gelas kopi ke atas meja sambil menatap sang istri lamat.

Satu kerjapan, satu juga tetesan air mata yang menurun. Mencoba memberi tahu Meru jika keadaan sang istri tidak baik-baik saja, “Mas kalau misalkan terlalu jenuh menunggu saya memberi keturunan, mas bisa memadu saya.”

Senyap sudah lingkungan keduanya, ada belasan hal yang ia pikirkan termasuk tanggapan sang suami akan kata-katanya yang baru saja ia keluarkan. Ia memejamkan matanya kuat-kuat mengingat cerita sang kawan tentang sang suami yang langsung mengayunkan lengan.

“Rayu hubungan erat yang berlandaskan sebuah janji suci, pernikahan, bukanlah hal yang patut kamu jadikan gurauan. Kamu istri saya sampai kamu beruban pun saya tetap cinta, ataupun kamu tidak secantik sekarang saya akan tetap cinta kamu. Saya sudah ambil tanggung jawab kamu dari ramanda dan sang pertiwi yang sulit sekali saya tembus perlindungannya.”

“Keturunan bukan hal yang wajib bagi saya punyai, kecuali untukmu. Kamu patut saya punyai mengingat betapa sulitnya untuk memegang tangan ini di hadapan Tuhan sambil mengucapkan janji,” meremat tangan sang istri sembari menghela nafasnya yang tersendat.

“Wanita yang sesungguhnya? Kalimat macam apa yang kamu lontarkan di hadapan saya Rayu? Semua wanita dan pedusi di tanah pribumi ini sama saja, tidak ada yang beda. Tidakkah kamu merasa malu kepada ramanda dan pertiwi setelah mengucapkan kalimat itu?” 

Ia malu, tapi rasa malu yang meradang itu kian terkikis dengan rasa yang menyudutkan dirinya tanpa sepengetahuan. Tidak ada yang mengerti perasaannya sedikitpun, termasuk sang adam, bagaimana bisa lelaki itu terlihat tenang di hadapan sang istri yang sudah kalut dan menangis tersedu?

“Mas Meru saya tidak bermaksud tapi apa mas tidak merasa iri dengan petugas lain yang sudah lengkap pula pondasi keluarganya? Apa komandan batalyon 8 infanteri tidak mengolok-olok mas yang hendak berkepala tiga ini masih belum mempunyai keturunan satu pun?” emosinya sudah berada di ujung tanduk, kembali meluap bagaimana ia menangkap sang suami lebih memilih untuk menyesap kopi hitamnya dengan ayu.

“Apa yang harus saya lihat dari orang congkak permaisuri ku?”

“Maka dari itu mas! Mas tidak tahu apa yang saya rasa, di dalam sini saya sakit mas, rasanya sangat sakit hingga rasanya saya sudah tidak kuat menangis kembali.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


catatan;                      
how u'll feel this month?
Healthy?

Mahasura Da MeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang