Meru rumahku

9 6 0
                                    

Tidak selamanya juga ia tetap diam dan bungkam suaranya rapat-rapat, ada terhitung beberapa kali ia mencoba menjawab dan menepis segala perkataan jahat mereka.

Tapi, tipikal sebuah pikiran yang tidak maju satu salah ada banyak suku cadangnya. Jika ia sudah membuktikan suatu perkataan jika itu tidaklah benar maka akan muncul kembali perkataan kasar atau yang lebih parah perkataan yang bercabang-cabang.

Mengapa mereka kira jika mempunyai keturunan adalah suatu hal yang mudah untuk dilakukan seakan-akan bisa terjadi dalam satu kedipan mata, apa mereka tidak berpikir tentang masa yang akan datang nantinya?

Akan ia beri makan apa anaknya nanti? Akankah ia mendapatkan kehidupan yang layak sebagai seorang anugerah? Apakah ia bisa memfasilitasi segala kebutuhan anaknya nanti? Bukankah biaya untuk makan dua orang saja sudah berat apalagi tiga ditambah tekanan untuk memberi anaknya nanti pendidikan.

Dalam artian, mengapa mereka mengira jika kebutuhan primer, sekunder dan tersier itu mudah untuk diraih? Lagi pula bukankah anaknya nanti tidak akan menemaninya hingga akhir hayat?

Otaknya kembali bergelut, perlukah ia menyusul sang suami saat bertugas hanya karena masalah kecil ini? Tapi hatinya merasa jika masalah ini bukanlah masalah kecil yang bisa ia pendam, yang bisa ia sembunyikan keberadaannya.

Rayu bukanlah gadis sempurna yang dulu Meru damba-dambakan, Rayu sudah berbeda dengan yang terdahulu. Semua aksi yang terjadi di dunia nyata bukanlah termasuk ke dalam skenario hidup sempurna yang ia inginkan untuk terjadi.

Bukan ini, bukan kehidupan cacat yang ia inginkan. Ia hanya ingin dipandang sebagai seorang wanita sempurna seperti sang pratiwi. 

Anggun, ayoe. Melayani sang kepala keluarga dengan rajin dan tanpa rasa lelah yang terpatri, menjadi seorang ibu dan merasakan bagaimana tangis haru.

Sepatutnya, saat itu ia tidak menerima ajakan Meru untuk membangun keluarga bersama. Rayu pastikan jika sang suami pasti menyesal mempunyai istri yang tidak memberikannya keturunan.

Tapi kembali lagi, Meru rumahnya. 

Tak ada tempat yang lebih hangat dan terbuka selian Meru, tetapi hatinya merasa kurang seperti sebongkah batu menghantam segala hasrat yang ia miliki dengan akurat. 

Benarkah, Meru rumah yang aman nan juga hangat?

Gadis itu menatap ke arah pigura kayu yang berukuran besar, mungkin kali ini ia harus menyetujui jika—Meru memang rumahnya. Hanya saja, ia pantas mendapatkan yang lebih, karena Meru hampir menyentuh kata kamal yang baka.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mahasura Da MeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang