Titipan

8 6 0
                                    

CW // blood
TW // suicidal
please be a good readers

CW // bloodTW // suicidalplease be a good readers

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••••••••••

Kali ini, ada Mbah Maryam yang menemani hari-harinya. Entah apa Meru yang menitipkannya kepada wanita tua berumur tersebut atau memang Mbah Maryam yang mengikuti instingnya saja.

Kemarin burit, beberapa menit sebelum adzan yang biasanya berkumandang walau senyap-senyap terdengar suaranya. Para pedusi yang berjalan melewati rumahnya untuk ke rumah ibadah mereka sembari menjinjing kain putih.

Melewati rumah miliknya dan Meru, berbincang dengan debit yang tinggi, agak-agak berharap jika omongan mereka terdengar olehnya. Tapi memang pada dasarnya, Rayu mendengar. Ia mendengar setiap patah kata, bagaimana mereka menyayangkan Meru yang memilih untuk tetap setia kepada satu wanita yang tak bisa memberi keturunan.

Mengasihani Meru karena harus memiliki hidup yang sunyi tanpa ada suara anak kecil yang berbunyi.

Sudah terhitung berapa bulan Rayu bertahan walau mendengar omongan tetangga-tetangga jauhnya itu? Apakah ia masih kuat untuk mendengarkan perkataan biadab mereka semua?

Pikirannya tertuju pada satu hal saja, kemana Rayu yang dulu sempurna? Tetangganyapun menyebutkan hal yang sama, mungkin menyadari jika kesempurnaan Rayu kian terkikis akibat satu kesalahan.

Wajahnya menatap area belakang rumah yang menghadap pepohonan pinus nan lebat dengan air muka yang tenang, walaupun di balik semua itu ada hati yang berkeluh kesah.

Detik-detik ketika hari menjelang tunggang gunung adalah favoritnya, aktivitas itu selalu ia lakukan ketika kehilangan dua jabang bayi.

Tapi kali ini, kebiasannya itu kembali kumat tak tahu tempat. Membuat Mbah Maryam mengernyit keheranan, hal macam apa yang Rayu lihat hingga ia tampak kegirangan.

Berkali-kali Mbah Maryam menawarinya untuk pergi ke rumah sakit tempo ini, membuat ia berpikir dalam, apa Mbah Maryam pun berpikir jika ia adalah wanita penyakitan?

Padahal Rayu hanya memikirkan perkataan-perkataan mereka, yang datang dari masa lalu dan masa sekarang, lalu berpikir jauh tentang masa yang akan datang. Dini hari pula, ia mencurahkan setiap rasa yang bisa ia deskripsikan ke beberapa kertas yang kini sudah hilang keberadaannya.

Ia hanya merasa kecewa terhadap dirinya sendiri, kedua jabang bayi yang gugur membuatnya tak kembali gadis sempurna yang ia idam-idamkan pula ia menjadi tidak sesempurna sang pertiwi.

“Neng Rayu, sudah mau magrib. Pamali perempuan masih ada di luar rumah,” tegur Mbah Maryam sembari mengelus pelan rambut milik Rayu yang sedikit bergelombang dengan lembut.

“Nanti saja ya Mbah, saya masih ingin melihat—”

Tuturan Rayu terputus kala Mbah Maryam dengan kasar menarik tubuhnya untuk masuk ke dalam rumah, mendorong tubuhnya untuk memasuki kamar tanpa sepatah dua patah kata yang keluar.

“Saya mau di luar Mbah.”

Tidak ada respon yang keluar selain Mbah yang sudah menuangkan air ke dalam gelas kaca, “Saya mau di luar Mbah!”

Seruannya membuat wanita berumur itu tersentak, “Apa Mbah juga menerka-nerka jikalau saya adalah seorang wanita berpenyakitan seperti yang lain?”

“Untuk apa Mbah Maryam kemari tanpa saya jumpai terlebih dahulu? Apa Mbah ingin mengolok-olok saya seperti yang lain?”

“Atau Mbah ingin mengatakan jika saya adalah seorang wanita yang gagal? Saya hanya butuh waktu untuk diri saya sendiri mbah, hanya kali ini saja.”

Setelah mengatupkan bibirnya dan membiarkan suara hewan di luaran sana mengambil alih, Mbah Maryam langsung beranjak, mengambil tekonya juga keluar ruangan.

Kain batik yang digunakan ia angkat sedikit karena terburu-buru untuk keluar kamar. Apa Mbah Maryam juga merasakan aura negatif yang mengelilingi wanita itu?

Gadis yang tengah digerogoti oleh sisi gelap itu hanya menghembuskan napasnya dengan panjang, menatap pintu kamar dengan kedua alis yang menukik terjal. Pikirannya masih penuh akan beribu pertentangan terhadap dirinya.

Surat yang ia titipkan kepada Marni untuk diberikan kepada tukang pos, tentang titipannya. Tentang hal-hal yang sudah Meru perjuangkan untuknya, sudah cukup untuk membuatnya bahagia.

Tekadnya sudah bulat, sisi gelap dan aura negatif yang kian merambat menelan nalar dan raganya. Rasa yang selalu ia dapatkan ketika menatap pepohonan di belakang rumah, rasa kecewa yang mendalam dan ingin melakukan sesuatu.

Matanya menerawang ke seantero ruangan, hingga mendaratkan atensinya ke satu benda yang berkilau terkena sinar lampu neon. Bangkit dari tempat tidurnya dan meraih pisau buah yang selalu Meru simpan untuk membuka mangga arum manisnya di dekat meja rias.

Kali ini, ia tidak akan membiarkan kalimat-kalimat bengis itu masuk ke dalam hatinya lagi. Cukup sakit yang mereka torehkan secara tidak sadar itu.

Tubuhnya ia sandarkan di samping kasur, pisau mengkilap itu Rayu posisikan di pergelangan tangan kirinya. Pisau ini akan ia salah fungsikan terlebih dahulu, sama-sama menggores, hanya beda permukaan.

Dengan senyum lebarnya yang terlihat seperti bisa menyentuh telinga, satu sayatan yang cukup dalam di pergelangan tangan kirinya membuat ia menyeringai lebih lebar. Kali ini sakit yang hatinya dera sudah menghilang, ribuan kalimat yang menyindir kesempurnaannya pun lenyap.

Sekonyong-konyongnya cairan merah nan kental itu mengalir deras membasahi lantai kamar, baju tidur putih yang ia gunakan tak lagi sepenuhnya putih. Sisa tenaga yang Rayu miliki, ia gunakan untuk menyayat pergelangan tangan kanannya, ketika ia mencoba untuk menusuk dada kirinya yang dulu sering terasa sakit.

Kedua tangannya yang sudah berlumuran darah terlebih dulu jatuh ke lantai, senyum lebar menghiasi wajahnya yang bahkan tak menampakkan rasa sakit akibat luka yang ia buat.

catatan;                      anyways mau ngingetin buat beberapa chapter ke depan, harus pakai dark modeya! Thanx!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

catatan;                     
anyways mau ngingetin buat beberapa
chapter ke depan, harus pakai dark mode
ya! Thanx!

Mahasura Da MeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang