Gagal tak apa

14 7 2
                                    

Sinar rembulan yang malu-malu untuk bertamu itu kian menunjukkan eksistensinya, memberi pencahayaan kepada dua insan yang masih setia menatap satu sama lain.

Merenung dan berenang-renang di lautan pikiran yang berombak, membuat diri terombang-ambing dengan iming-iming sebuah balas jasa. “Saya mau minta izin untuk tinggal di rumah pak Laksamana selama beberapa hari untuk menyempurnakan rencana,” adunya seraya melipat pakaian yang sudah sang istri rapihkan ke dalam tas.

Tak ada sahutan selain deheman singkat yang menyiratkan ketidak pedulian, “Saya harap kamu tidak keluar rumah selama tiga hari ke depan, ini perintah saya sebagai seorang kepala keluarga Rayuanda,” seraya berujar lelaki itu membalikkan badannya yang tegap, menghadap sang istri yang berdiri di belakangnya dengan kepala menunduk dalam.

“Lebih jelasnya lagi, jangan melangkahkan kaki kamu ini keluar dari perbatasan pagar di depan rumah sana, makanan sudah saya simpan di gentong dapur dan di atas meja ada ubi bakar, buka saja tudungnya.”

Jemarinya lebih memilih untuk menyisir rambut panjang sang istri dengan kasih, menyalurkan segala afeksi dan kalimat-kalimat manis yang ia bisikkan dengan pelan. “Mas nanti di rumah Laksamana Maeda makan sama apa? Apa perlu saya antar lauk pauknya saja?”

“Do'a dari yang kamu panjatkan saja sudah cukup bagi saya, kalau memang selesai sudah perancangan proklamasi, nanti saya pulang ke rumah yang satu-satunya saya punyai,” kasak-kisik sudah sang suami dengan segala wacana yang ia lontarkan dengan lembut.

Perseteruan yang terjadi ketika sudah tunggang gunung itu berlalu bersamaan dengan sang suami yang mengatakan maaf dan mengelukan namanya berkali-kali, membuat sang hawa kembali bergelora pikirannya yang keadaannya sudah tak karuan, pantaskah ia mendapatkan seorang teman hidup seperti Meru?

Jika memang Meru adalah jawaban yang benar dari segala do'anya, mengapa ia tidak merasa seperti itu? Pantaskah ia bersanding dengan sosok Meru yang hampir mendekati kata sempurna? Bagaimana bisa ia menerima ajakkan sang adam tanpa berpikir dua kali? Tidakkah Tuhan merasa kasihan dengan pertalian antara Meru dengan Rayu ini?

“Meru kamu benar-benar menikah dengan saya?”

“Apakah mata saya ketika bersama kamu menyiratkan ketidaknyamanan dan tidak suka? Jika ini memang masih menyangkut dengan masalah burit tadi, Rayuanda Tri Ratna Sari. Saya selalu sisipkan nama kamu di setiap do'a yang saya panjatkan ketika beribadah, kamu yang saya mau bukan orang lain. Ketika saya gagal menggapai jemari ini, saya tidak menyerah. Karena saya tahu, kamu akan menjadi pasangan sehidup dan semati saya.”

“Gagal tak apa, menyerah jangan,” ujar Meru sambil melayangkan belasan kecupan singkat di wajah ayu sang istri dengan sayang.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mahasura Da MeruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang