01

1.1K 159 33
                                    


Hai Mama...

Baru saja menulis kata - kata itu di diary Naren mendengar pintu kamarnya diketuk.

"Narendra"

Siapalagi yang memanggil nama lengkapnya di rumah ini selain papa.

"Masuk Pa! Gak dikunci."

Naren menutup diary itu, kemudian menatap Ayahnya yang berdiri di depan pintu. Memasukkan tangannya di belakang saku dengan canggung.

"Boleh papa masuk?"

Naren mengangguk. Lagipula Siapa yang melarang Papanya masuk, tadi Naren bahkan mengizinkan papa masuk duluan. Tapi papa malah menatapnya lama. Naren melihat pandangan Papa langsung tertuju ke diary yang ada di kasurnya.

Naren seperti tertangkap basah.

"Punya mama?" Kata papanya singkat.

Naren diam. Kemudian mengambil buku diary itu dan mengeluarkan pulpen yang masih terselip. "Iya pa.. maaf Naren ambil buat baca - baca kalau lagi kangen"

Papanya mengangguk. Mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. "Kenapa belum tidur Narendra?"

Anak itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ya karena dia gelisah. Bagaimana rasanya sekolah? Bertemu orang banyak setelah sekian lama hidupnya hanya dihabiskan di rumah ini dan rumah nenek tempat umum ramai yang ia datangi cuma rumah sakit.

"Naren, Kalau ada apa-apa di sekolah, kabari papa ya. Atau telfon asisten papa kalau misalnya ada yang urgent. Papa udah sampaikan tadi kalau Naren yang telfon harus langsung disampaikan"

Naren mengangguk. Menatap ayahnya yang mengeluarkan dompet dan mengeluarkan kartu debit bank untuk dirinya.

"Papa buatkan ini untuk Naren. Sudah diisi uang mingguan nya Naren. Pin nya hari ulangtahun Mama. Naren atur sendiri ya"

Naren tercengang. Biasanya ia hanya perlu menyampaikan kebutuhannya ke asisten rumah tangga atau ke asisten papanya. Ia tidak pernah menyentuh uang atau alat pembayaran apapun.

"Beneran pa?"

"Ya. Naren mau belajar mandiri kan?"

Naren pengen belajar mandiri Mama.. tapi Papa kayaknya gak percaya sama Naren.

Naren teringat curhatannya waktu itu. Ketika ayahnya marah mendengar keinginan dirinya sekolah di sekolah umum biasa, bukan homeschool lagi.

Naren masih menatap kartu hitam itu, kemudian merasakan pundaknya ditepuk. "Kalau gitu, Naren istirahat ya. Besok mungkin Papa gak bisa anter karena harus berangkat pagi"

Naren mengangguk. "Gak apa-apa pa! Naren mau berangkat naik sepeda" Naren mengernyit ketika melihat wajah ayahnya sedikit terlihat kaget.

"Itu jauh, Naren"

Tidak lebih jauh dari makam mama.. yang sebenarnya sering Naren kunjungi dengan bersepeda setelah menyelinap diam-diam.

"Aku bisa Pa! Tenang aja"

Jeff menghela nafas lelah. Kemudian menepuk pundak anaknya sebelum memutuskan keluar dari kamar anaknya.

*

"Udah saya kempesin Pak"

"Lagi. Sampai gak bisa dipakai, terus pompa nya ini nanti kamu sembunyikan di rumah belakang" Jeffrian memerintahkan.

"Tapi kenapa dikempesin Pak? Nanti gak bisa dipakai"

"Ya saya memang pengen sepeda itu gak bisa dipakai" Jeff menjawab.

Supir Jeff dan asisten Jeff itu mengernyit dan saling berpandangan kemudian menatap atasannya. "Pak, kalau mau sepedanya gak bisa dipakai pol, ini rantainya dilepasin aja" ujar asisten Jeff sedikit emosi, karena di pagi buta seperti ini ia harus mengikuti permintaan aneh bos nya. Sebelumnya mereka juga rapat.

"Oh ya sudah. Lepas rantainya"

Perempuan itu menghela nafas. Kemudian menatap Jeff dengan pandangan skeptis.

Jeff menatap wajahnya balik tanpa ekspresi kemudian menghisap rokoknya. Menaruhnya di mulut dan ikut berjongkok bersama dirinya. "Eh pak ngapain?" Supirnya kemudian sedikit bergeser.

Jeff memutuskan rantai sepeda itu dengan kedua tangannya. Sedikit kesulitan tapi setelah berkali kali, rantai sepeda itu terputus. Menyisakan tangan atasannya kotor karena memegang rantai sepeda yang penuh oli.

"Waduh pak"

"Kenapa? Capek kan kamu. Sana udah ini biar saya yang urus"

"Bukan gitu pak. Aduh Maaf, Kalau putusnya kayak gini keliatan kalau ini kerjaan jail orang." Supir Jeff menepuk keningnya. "Harusnya dilepas biasa aja biar kayak longgar gitu"

Jeffrian menghela nafasnya. "Kamu bukannya kasih tau saya dari tadi. Udah lah saya mau tidur. Besok pokoknya atur gimana caranya biar Narendra pergi sekolah bareng kita. Masa dia mau naik sepeda?"

"Besok kan ada meeting jam 7 pagi pak"

"Udah saya postponed jadwalnya"

Atasannya itu berlalu dari garasi, meninggalkan dirinya yang harus membereskan kekacauan ini.

"Brengsek!!" Keluh asisten Jeff pelan. "Tinggal minta aja biar anaknya berangkat sama dia. Apa susahnya sih?"

"Sabar bu" supir Jeffrian hanya tertawa - tawa.

"Nanti saya nganter Ibu ke apart nya ngebut"

"Jeffrian sialan!"

*

kira kira naren mending tetep berangkat sekolah naik sepeda apa bareng papah guys wkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

kira kira naren mending tetep berangkat sekolah naik sepeda apa bareng papah guys wkwk

Letter That I Sent YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang