09

764 113 18
                                    


Naren menatap pantulan wajahnya di air kolam, tidak menyukai apa yang dia lihat. Tangannya ia gunakan untuk menyentuh air, agar bayangan wajahnya menghilang. Begitu lebih baik. Naren jadi tidak perlu melihat mata cekung, bibir kering, dan wajah pucatnya lagi.

Ia membiarkan tangannya menyentuh permukaan air kolam yang dingin lagi. Tanpa digerakan pun tangannya sudah gemetaran, sehingga air itu menciptakan riak kecil.

Bayangan wajahnya di permukaan kolam kembali kabur.

"Dek Naren, makan dulu ya?" Bibi mengelus punggung Naren dari belakang. Hangat rasanya. Perempuan paruh baya itu setiap hari repot - repot menyusul Naren, mengurus Naren dalam kondisi sehat maupun sakitZ Akhir - akhir ini, badannya lebih sering sakit dan kedinginan. Apalagi malam hari.

"Ayok, dibantuin berdiri ya sama Bibi?"

"Sendiri aja."

Bibi mencolek pipi kurus Naren.

"Senyum dong.. jangan dilipet aja mukanya kaya setrikaan Bibi yang numpuk."

Naren tersenyum kecil.

"Hari ini mau makan sendiri lagi?"

Naren mengangguk.

*


"Ikut? Kantin?" Naren merasakan tubuhnya disikut pelan. Sedari tadi pelajaran kosong, pastinya semua sibuk masing - masing, kecuali Naren.

Seluruh tubuhnya terasa nyeri, terutama sendi - sendinya. Naren pikir karena ia baru pulih dari sakit demam berdarah. Makannya ia memilih untuk beristirahat di mejanya.

"Yaudah, lo mau titip makan aja gak? Daritadi belum makan kan?"

"Gak apa - apa, gue ikut aja."

Naren keluar dari bangkunya, merapikan wired earphone yang ia gunakan, kemudian berjalan keluar, kakinya terasa sedikit lemas, tapi ketika terkena sinar matahari diluar tubuhnya menghangat dan terasa lebih baik.

Di kantin Naren mengantri, melihat menu yang terpampang diatas, pandangannya kabur. Tulisan yang kecil terlihat menjadi dua baris.

"Kenapa lu, pucet amat?"

"Bu sotonya satu," Haikal mengambil botol air mineral, menyerahkan satu untuk Naren dan satu untuk dirinya.

"Bu sotonya dua," sekarang Naren yang memesan makanan. Karena pandangannya tidak jelas, ia memilih untuk membeli makanan yang sama dengan Haikal.

Naren berbalik, berusaha membuka air mineral sambil mencari kursi, tapi kedua tangannya bahkan terlalu lemas untuk membuka tutup botol.

Ia tidak fokus melihat kedepan sehingga bertubrukan dengan seorang ibu kantin yang membawa kuah sup panas.

"Aaargh!"

Naren berteriak kencang karena merasakan panas yang menjalar di seluruh tangannya.
Setelah itu yang Naren ingat, semua orang mengerubunginya.

*

Naren menatap lengannya yang dikompres dioleskan gel dingin, matanya melirik sesekali ke arah papa yang duduk disampingnya. Menatap khawatir ke arah tangan Naren.

Seragam sekolahnya digunting untuk mempermudah penanganan luka.

"Sorry Pa.." lirih Naren.

Letter That I Sent YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang