10.

960 133 20
                                    


Dear Mama...

Jeff meraih potongan kertas itu dari lantai. Berserak di kolong meja, hampir tidak terlihat kalau saja Jeff tidak sedang mencari dokumen yang diperlukan untuk melengkapi visa nya.
Jeff mengernyitkan keningnya.

Selama ini dia tahu.

Naren selalu mencurahkan isi hatinya lewat diary milik istrinya yang sudah tidak terpakai tanpa sepengetahuan Naren.

Darisitu ia bisa memperbaiki hubungan mereka yang sempat menjauh karena kecelakaan itu.

Jeff juga sama traumanya seperti Naren waktu itu. Menghindari anak itu karena terlalu takut untuk sekedar menatap wajahnya.

Takut kehilangan Narendra.

Ia tahu kalau sikap dingin dan menghindarnya menyiksa Narendra. Menganggap anak itu tidak ada, padahal anak itu selalu menunggunya saat masa masa berat pemulihan setelah melalui berbagai operasi setelah kecelakaan.

Jeff baru tahu kalau selama masa itu Naren membutuhkan dirinya lebih dari apapun. Tapi Jeff baru mengetahuinya setelah menemukan diary itu tergeletak di teras belakang ketika memperhatikan Naren menjalani terapi di taman belakang rumah mereka.

Jeff memperhatikan anak itu dari jauh.

Tidak berani mendekat karena takut sekali membicarakan kejadian itu dengan Naren.

Dia belum siap.

Jeff menaruh kertas itu kembali di tempatnya, sebelum matanya menangkap sebuah kotak kado berwarna lilac lembut terbuka di rak paling bawah.

Jeff menatap isinya.

Kertas yang sama seperti kertas Naren tadi.

Jeff lebih terkejut ketika melihat isinya.

Ada puluhan surat tersusun rapi dengan amplop putih bersih, di cover nya tertulis.

To My Dearest Mama,
In Heaven.

*

Jantung Jeff berdegup kencang melihat puluhan surat yang tersusun rapi tadi. Ia tahu tidak seharusnya mengusik privasi Naren seperti ini terus - terusan. Tapi kedua tangannya tidak bisa berhenti membaca puluhan surat tadi.

Dear Mama, mulai sekarang, Naren bakal cerita sama Mama lewat surat ya.

Kemarin, Naren nggak sengaja liat Papa baca surat kita berdua, Papa baca bareng Tante Rachel, asisten Papa yang pernah Naren ceritain.

Jeff berpindah ke surat lainnya.

Semua isinya bertolak belakang dengan Diary Naren yang selalu ia baca dan simpan di tempatnya lagi diam - diam.

Papa lagi persiapan ke Shanghai. Aku denger Papa sama lawfirm nya bakal bikin aplikasi buat akses bantuan hukum gitu, keren kan Ma?

Itu pasti impian Papa. Papa gak pernah cerita sih. Tapi Aku baca di diary Mama waktu masih muda kalau impian Papa dari dulu pengen jadi pengacara karena pengen bela orang yang gak salah.

Kira - kira aku bisa gak ya Ma? Jadi kayak Papa?

Jeff berganti membaca surat dengan tanggal yang berdekatan dengan curhatan Naren di diarynya tadi, hanya terpaut satu hari.

Sakit..

Semua badanku sakit, Ma...

Aku pengen sakit ku berhenti.

Aku pengen sehat..

Aku pengen berhenti nyusahin Papa..

Kedua tangan Jeff gemetaran, akhirnya ia menutup surat itu. Mencoba mengatur nafasnya kemudian memejamkan mata. Ia tidak sanggup melanjutkan membaca karena takut dengan apa yang akan Naren katakan selanjutnya.

*

Kilauan lampu diatas meja makan pagi ini terasa menusuk mata, membuat kepala Naren rasanya sakit sekali. Matanya juga perih, ia mencoba memejamkan matanya. Kemudian menyerah karena cahayanya terlalu menyakitkan.

"Bi..."

Naren berusaha mengeluarkan suara lebih keras, tapi rasanya lemas sekali. Ia mengumpulkan tenaga dulu untuk bernafas.

"Loh? Kok belum dipake sepatunya?"

Papa muncul, pakaiannya terlihat santai sekali. Bukannya hari ini flight ke Shanghai?

"Papa.. gak jadi..?"

Papa menggeleng. Beberapa saat kemudian, Bibi datang, membawa segelas susu coklat. Papa malah menggeser kursinya ke dekat kursi Naren.

"Bi, ambilin sedotan ya, biar Naren gampang minumnya."

Naren melotot, menatap Papanya.

"Gapapa Pa, sendiri aja."

Papa tidak menjawab. Menatap kedua tangan Naren yang terkulai begitu saja di paha.

"Udah diolesin obat dari dokter kemarin? Masih agak merah ya yang kesiram kuah panas itu." Naren diam. Tidak menjawab, karena ia tidak mengoleskan obat itu seperti anjuran dokter, untuk menulis saja tangannya lemas. Apalagi mengoleskan obat?

"Bi, sama tolong ambilin salep nya Naren ya?"

Bibi menyerahkan sedotan, Papa langsung membantu Naren duduk lebih tegak agar Naren bisa minum susu dari gelas plastik yang Jeff pegang. Jeff miris sekali. Naren setakut itu memecahkan gelas lagi.

"Naren salah baca diary Mama kayaknya."

"H-hah? M-maksud Papa?"

"Impian Papa itu bukan pengen bela orang yang gak salah Naren. Papa gak pengen muluk - muluk jadi orang sebesar itu."

Papa tersenyum tenang. Kedua tangan Naren diraih, kemudian dengan hati - hati papa mengoleskan gel dingin lagi di luka bakar Naren kemarin.

"Waktu Papa milih nikahin Mama, dan kamu lahir. Impian Papa ya cuma pengen kamu sama Mama bahagia. Stop ngerasa jadi beban buat Papa, ya?"

Papa mengacak rambut Naren, membiarkan gel dingin itu menyentuh kulit Naren yang memerah.

Naren menggigit bibir bawahnya.

"Sekarang, Naren pengen Papa bahagia juga kan?"

Naren mengangguk.

"Stay strong okay? We will figure everything out. You will be okay again. As long as youre here and im here."

Bulir air mata jatuh turun di pipi Naren. Rasanya lega sekali. Naren memejamkan mata saking leganya.

*

Letter That I Sent YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang