TUJUH

4.9K 865 64
                                    

Usai mengekori Alma dan menguping pembicaraan Alma dengan temannya, Dinda akhirnya memutuskan untuk kembali ke kantor saja. Di sana dia akan melanjutkan pekerjaannya untuk mengembangkan Light on the Ground dan ekspansi ke tempat lain.

Mulanya, Dinda berpikir setelah bertemu Alma, dia akan berapi-api, penuh emosi, mendukung teorinya bahwa Alma memang jahat. Ternyata setelah bertemu, Dinda malah lesu. Tindakan Alma memang tidak bisa dibenarkan, itu menyakiti Adam, ibunya, dan mungkin banyak pihak lain. Tapi Dinda juga berpikir bahwa seharusnya Adam dan Alma bertemu lagi.

Mereka perlu membicarakan semua masalahnya sekali lagi. Supaya Adam tidak dipenuhi rasa dendam dan Alma juga bisa lebih lega menjalani hidupnya. Sayangnya, itu di luar kuasa Dinda. Sekali lagi, Dinda bukan siapa-siapa dan Dinda bukan orang yang bertanggung jawab terhadap hubungan mereka berdua.

Walaupun Dinda sungguh ingin mengganti pemahaman Adam bahwa semua perempuan tidak bisa dipercaya.

Begitu memasuki ruangannya, sebelum Star bisa mengatakan apa-apa, Dinda sudah mengangkat tangannya. "Gue mau semedi. Jangan ganggu gue."

Dengan raut wajah serius, Star tidak membantah, hanya mengangguk dan mengangkat jempolnya. Karena itu, sepanjang sore hingga larut, Dinda diam di mejanya, Star tidak mengatakan apa-apa kecuali ketika dia berpamitan pulang lebih dulu. Dinda melepas headset kemudian melamun begitu dalam ruangan ini tinggal dia sendirian.

Tekad Dinda untuk membuka mata Adam sudah bulat, tinggal menemukan cara yang tepat. Itulah yang sedari tadi dia pikirkan dan belum menemukan jawabannya. Akhirnya Dinda memutuskan untuk pulang saja.

Dengan lunglai, Dinda menghampiri mobilnya. Tepat begitu kunci mobil membuka, teleponnya berdering.

"Halo, Ma."

Amara Kirana yang menelepon.

"Din, Papa kamu mau tanya." Mamanya memberi jeda. Sepertinya mengobrol dengan Papa. Dinda menunggu dengan penasaran. "Artis apa yang suka olahraga?"

"Haaah?" Dinda bersandar di mobil, menggaruk kepala karena bingung dengan pertanyaan tiba-tiba dari orang tuanya. "Papa mau ngajak olahraga?"

"Jawab aja, Din," sahut Papa.

"Ya banyak artis yang suka olahraga. Setahu aku, Desta suka pingpong. Papa mulai main pingpong kan? Coba tanya sama Mas Vincent nomor kontaknya." Dinda menjawab dengan serius, tidak menyadari bahwa Papa bermaksud bercanda.

Mama tergelak, sementara Papa berseru jawaban Dinda salah.

"Ah apa sih. Nggak tau aku, aku nggak paham. Kenapa sih nanya?"

"Jadi nggak bisa jawab?" Suara Papa membesar, tanda telepon diambil alih.

"Nggak."

"Selena Gowes. Suka naik sepeda," jawab Theddyas dengan santai. Di latar belakang terdengar suara Amara terkikik.

Sebaliknya, Dinda mematung di tempatnya.

"Aku tutup nih ya," Dinda membalas datar.

"Jangan, jangan. Nih Mama mau ngomong lagi." Theddyas kembali menyerahkan telepon pada Amara.

"Udah pulang, Sayang?"

"Baru mau pulang. Ini aku lagi di depan mobil."

"Udah makan malam?"

"Nanti aku makan di jalan pulang."

"Kalau makan di jalan ketabrak dong," timpal Theddyas.

"Aku tutup beneran!" ancam Dinda.

"Makan malam sama Mama dan Papa yuk. Kami lagi di jalan nih. Kami juga mau ketemu Adam."

"Adam? Suseno?"

Love Is Blind (Date) - END (KARYA KARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang