"Besar harapan kami, agar proposal ini dapat menjadi pertimbangan anda. Kalau saja anda berbaik hati, kami ingin meminta agar anggaran bulan depan semoga tidak ada lagi pemotongan uang saku karena ini gue udah miskin! Makin tambah miskin, woi!"
Gio mendesis, menatap layar laptopnya dengan tajam, ditekannya keyboard dengan asal sembari mendengkus kesal dan meneguk sebotol air mineral di hadapan.
Dikta, abangnya itu juga belum pulang mulai dari ia meneruskan bagian inti proposal dana bulanan kebutuhan rumah hingga berakhir di bagian bab penutupan.
Harusnya ia tidak perlu berada di ruang tengah sembari menatap deretan angka di hadapan. Harusnya, ketika tidak ada jadwal kuliah, lebih baik ia keluar mengunjungi Nesya atau mungkin memainkan beberapa game lama di kamar.
Ah, ia juga ingin menjemput Nanta rasanya.
Gio memajukan bibir bawah, menelungkupkan wajah di kedua lipatan tangan. Bensin kendaraannya sudah sekarat, dan dompetnya hanya tersisa remahan debu sekarang.
"Sudah selesai?"
Tanpa sadar suara seseorang menyusuri ruangan. Dikta yang baru saja pulang, hanya bisa menggeleng, lalu menjentik dahi lebar Gio dengan kuat berhasil membuat cowok yang tengah melamun dengan raut wajah menyedihkan itu tersentak.
"Pulang ucap salam, bukannya jitak gue," gerutu Gio.
"Gue udah bilang, lo nggak dengar," jawab Dikta tak mau kalah, memperhatikan rincian anggaran dana yang sudah Gio perhitungkan sebelumnya.
Gio mendengkus, memindahkan siaran televisi.
"Ini totalnya lebih besar atau lebih kecil dari bulan kemarin?" tanya Dikta, duduk di sofa, sesekali menaikkan kacamata yang turun dari batang hidungnya.
"Jelas lebih kecil. Uang saku gue dipotong sama Bang Rean. Bisa aja gue letak di anggaran kebutuhan rumah, tapi nggak lagi-lagi. Jera gue."
"Anggaran listriknya harus lo turunin, Yo. Bulan kemarin sama bulan ini gue kepakai banyak soalnya," ujar Dikta, menekan deretan angka, mengubah yang tertera di sana. "Lo tahu sendiri, tahun ini kita dapat berapa, harus pintar-pintar kelola per bulannya."
Gio melirik malas. "Ya."
"Nanta ada kebutuhan lain?" tanya Dikta.
"Gue semalam udah minta Nanta buat perincian kebutuhan dia, cukup segitu totalnya," jawab Gio, melirik kedua kali. Tidak ada sinyal dari Dikta, Gio mengguncang tubuh abang keduanya itu dengan pelan. "Bang, uang saku gue elah."
"Lo lagian ada-ada aja nyari masalah." Bukannya membela, Dikta malah semakin kontra, membuat Gio masem-masem sendiri. "Udah tau Bang Rean temperamen gitu, lo bawa mobil tanpa seizin dia."
"Ya, maaf." Gio menopang kepala dengan sebelah tangan sesekali menguap. "Bang, lo nggak ke mana-mana lagi, kan? Gue mau tidur dulu di kamar."
"Udah keburu sore, Yo."
"Bodo, gue ngantuk. Kalau mau makan malam, masih ada dikit bahan-bahan di kulkas. Lo bisa masak, kan?" tanya Gio, meniti beberapa anak tangga.
Dikta menoleh belakang, melirik tajam. "Lo lupa, siapa yang buatin bubur waktu lo hampir sekarat?"
"Sial," umpat Gio. "Masih diingatin."
Dikta tertawa sekilas lalu meronggoh sesuatu dan memberikannya ke Gio. "Nih, buat tambahan untuk dompet lo. Kasian gue lihatnya."
Melihat selembar ribuan berwarna biru itu berhasil membuat ekspresi Gio yang tadi malas-malasan kini tersenyum cerah, matanya berbinar, berlari kecil lalu memeluk leher abang keduanya dengan cepat.
"Yo! Lepasin! Bisa mampus gue, woi!"
"Makasih, Abang." Gio bertingkah manja. Bukan hanya Dikta yang ingin menggampar pipi itu sekarang, si pemilik tubuh itu pun kalau dalam keadaan sadar mungkin akan melakukan. Ya, ia yang sekarang dalam keadaan senang, menikmati euforia yang ada di kepalanya.
"Sini, Dedek bantu cariin cewek," ucapnya lagi, lalu menyambar lembaran duit itu dengan cepat, menaiki anak tangga, menjulurkan lidah.
"Gio! Awas lo nanti malam! Gue racunin!"
___
Beda dengan suasana rumah yang berisik, maka di sekolah terasa begitu hening. Yesa memperhatikan sekeliling, bel istirahat sudah berdering sedari tadi, sementara anak perempuan dari keluarga Anggara itu pergi, membeli sesuatu di kantin.
Hanya ada suara putaran kipas di kelas, detikan jam, dan ujung tirai yang berkibar diterpa angin siang. Membosankan.
Yesa berdecak, diam-diam mencengkeram perut begitu rasa keram lagi-lagi menghampiri.
"Nanta nanam pohon teh dulu atau beliin gue teh, coba?" gerurunya pelan.
Gerutuan akan semakin panjang, hingga suara ketukan pintu terdengar. Ia yang setengah menelungkupkan wajah di atas meja, kini menoleh sesaat. Sayang, sekali lagi tidak sesuai harapan, seseorang dengan kacamata dan pakaian olahraganya itu masuk ke kelas, membawa sebuah buku yang digulungnya.
"Ada Nanta?"
Bukan hari baik. Yesa menatap tajam, enggan menjawab. "Lo mau apa? Manfaatin lagi? Si*lan lo!"
"Et!" Kael, cowok itu refleks mengangkat kedua tangan lalu termundur begitu lemparan pena hampir mengenai tubuhnya. Dengan hati-hati ia meletakkan buku ke meja sebelah yang kosong. "Gue mau kembalikan buku Nanta."
"Gue pastiin Nanta bakal cepat sadar kalau lo cuma manfaatkan dia," tekan Yesa.
Kael tertawa pelan, berdiri tepat di hadapan Yesa. "Sa, gue bukan orang kayak gitu lagi."
"Lo pikir gue percaya?" tanya Yesa mengangkat sebelah alis. "Selain ini, kita pernah sekolah yang sama, bahkan--"
"Ah." Kael mengangguk paham, memainkan dagu dengan jari telunjuknya. "Baru ingat kalau lo mantan gue. Ngomong-ngomong yang ke berapa?"
Tangan Yesa tergepal, ingin rasanya melemparkan meja ini tepat ke wajah sok polos itu sekarang. "Lo yang menjauh dari Nanta, atau gue yang buat Nanta bakal menjauh dari lo?"
"Coba aja." Kael mengangkat kedua bahu meremehkan. "Nanta nggak semudah itu dipengaruhi lo."
"Lo benar-benar sia--"
Belum sempat segala jenis umpatan diluncurkan dengan sempurna, suara ketukan pintu dan langkah kaki seseorang memasuki kelas dengan membawa dua gelas minuman hangat begitu juga makanan.
Nanta.
Yesa menelan ludah, membuang wajah secepatnya. Bagaimana tidak? Melihat senyuman merekah yang ditujukan untuk orang seperti Kael semakin membuat perut Yesa mulas sekarang.
"Ini, Sa."
Minuman dan makanan disodorkan. Secepat mungkin Yesa langsung meraih, tanpa berbicara.
"Kamu udah makan, Kael?"
Kamu-aku. Diam-diam Yesa mendelik, mengunyah nasi bungkusnya tidak selera.
Kael mengangguk, menggeser bangku entah milik siapa, duduk berhadapan dengan Nanta. "Jadi, gimana? Bisa ikut camping?"
Dengan batagor yang penuh di mulut, Nanta tersenyum, mengangguk senang.
----
Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Vote, komen, dan krisarnya sangat membantu.
Oh, ya, aku baru-baru ini mau buka jasa descov, ada yang mau pesan cover? Gratis untuk dua orang tercepat, tapi yang background simple ya.
Up : 22.03.22^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Teen FictionDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...