E N A M

231 23 0
                                    

"Aduh, duh, duh, bangsat! Sakit, anjir!"

Dhafin terlonjak kaget tatkala mendapati ibu negara berkacak pinggang menatap horor dirinya. Dhafin langsung memelototi Jihan dengan galak akan tetapi pelototan cewek itu lebih seram.

"Apa!"

"Lo apa-apaan sih!" ketus Dhafin sambil mengusap-usap telinganya yang sudah tampak memerah.

"Lo yang apaan! Maksud lo apa coba malakin anak orang. Kasian tahu! Mereka dikasih duit sama orangtuanya buat kebutuhan mereka bukan buat lo! Sadar, duit lo lebih banyak dari mereka." Jihan membalasnya mutlak.

Dhafin Geantara tetaplah Dhafin, dia tidak peduli. Baginya memalak anak-anak di sekolah ini adalah kesenangan untuk sebuah tujuan.

"Terserah gue. Udah hobi dari dulu." Dhafin memamerkan senyum smirknya pada Jihan, lantas cowok itu melangkah menjauhi Jihan.

Jihan berdecak penuh kesal. Dia belum selesai bicara tetapi dengan seenaknya Dhafin melenggok pergi. Namun, jihan tidak membiarkannya. Gadis itu kembali menghentikan langkah Dhafin dengan menarik kembali telinganya.

"Eh, mau kemana lagi lo. Gue belum selesai ngomong."

"Akh! Jangan lo tarik lagi dong, masih sakit nih." Dhafin mendesis.

"Gue nggak peduli ya, mau itu hobi ataupun kejailan lo. Itu duit balikin lagi ke orangnya!" perintah Jihan keras.

"Nggak bisa gitu dong. Barang yang udah di tangan gue nggak bisa balik lagi." Dhafin menyembunyikan uang yang ada di genggamannya agar Jihan tak dapat merebut darinya.

"Udah deh, Fin. Jangan kayak anak kecil. Inget umur! Lo bikin gue malu tahu, nggak."

Menghembuskan napas kesal, Dhafin kini menatap serius manik mata Jihan.  "Dengerin gue. Gue malak karena ada sebabnya. Lo nggak tahu dan lo nggak perlu ikut campur biar lo nggak perlu malu."


***


"Dhafin!"

Jihan melihat Dhafin di parkiran sekolah kala jam pulang sudah dibenarkan. Ia tersenyum ceria karena merasa masih punya pencerahan.

Sejak tadi Jihan terlihat agak murung, dia harus berjalan pulang sendirian karena ketiga temannya mengikuti remedi. Terlebih uangnya hilang ketika di kelas yang menjadikannya kurang untuk naik taksi. Tapi melihat Dhafin dan para gengnya sudah berada di samping motor masing-masing, mau tidak mau Jihan harus minta pulang bersamanya.

"Kalian mau kemana?" Jihan bertanya setelah gadis itu mendekat ke arah parkiran.

"Ada urusan. Lo pulang duluan gih," jawab Dhafin malah mengusir Jihan.

"Urusan apa sampai lo mau ninggalin gue?" Jihan bersedekap dada. Namun, ucapannya tersebut malah mengundang senyum godaan dari teman-teman Dhafin.

"Yaelah, Je. Ditinggal bentar doang udah mau kangen aja," ledek Felix sembari mengukir senyum.

Jihan menatap datar pada laki-laki berjambul dengan kulit sawo matang tersebut. "Siapa yang kangen?"

Keenam laki-laki tersebut hanya diam, Felix mengangguk-anggukan kepalanya hanya untuk mengiyakan ucapan Jihan.

"Gue mau minta duit." Kini Jihan menengadahkan telapak tangannya di hadapan Dhafin.

Tanpa banyak protes, Dhafin langsung mengeluarkan dompetnya. Memberikan selembar uang merah ke telapak tangan Jihan. "Nih, naik ojek aja, ya."

"Gue nggak suka naik ojek," kilah Jihan cepat.

Dhafin malah mendengus sebal. "Terus lo maunya apa, Jihani!" ia menggeram.

Dhafin: Bad Boy HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang