D U A

352 35 0
                                    


"Buat apaan sih lo jual apartemen? Merasa miskin karena mau nafkahin gue?" tanya sinis Jihan.

Dhafin tentu tidak benar-benar akan menjual ginjalnya hanya karena memberi nafkah Jihan. Dia masih sayang organ tubuhnya. Dua ginjal saja hidupnya sudah mati rasa, gimana kalau satu. Seminggu bisa mati muda dia.

Setelah mendapat cubitan di perutnya, Dhafin akhirnya menceritakan semua pada Jihan. Tentu Jihan langsung overthinking.

"Ya Allah, suudzon aja lo ama gue. Denger ya, mau gue beli apapun, mau lo minta duit berapapun, gue nggak bakalan bangkrut!" kata Dhafin sombong membuat Jihan mengeluarkan tampang julidnya.

"Gue pikir, udah nggak ada lagi gunanya apartemen kalau udah ada rumah. Kasian kalau terbengkalai gitu aja, ntar malah makhluk lain yang nempatin. Mending di jual, 'kan lumayan nambah isi rekening gue." Dhafin menaik turunkan alisnya. Kalau udah masalah uang, Dhafin emang paling pinter.

Jihan memutar kedua bola matanya. "Serah lo deh." Jihan tidak terlalu memikirkannya. Toh, yang punya hak itu Dhafin dia tinggal terima beresnya doang.

Saat ini keduanya sudah berada di dalam rumah, lalu Jihan melangkah ke dapur, ruang tengah, dan terakhir di lantai atas dimana ruangan kamar berada.

"Di atas kamarnya ada empat, terserah lo mau tidur dimana," tutur Dhafin sebelum bayangan Jihan menghilang di balik tembok lantai atas. Berbicara seperi itu, karena dia tahu Jihan tidak akan mau sekamar dengannya.

"Hm." Jihan hanya bergumam.

Jihan melihat kamar itu satu-persatu, sekaligus mencari kamar yang cocok untuk ia huni. Sembari ia melihat-lihat, Dhafin datang membawa barang-barang miliknya dan milik Jihan.

"Gue pake yang ini," kata Jihan menunjuk kamar sebelah kanan paling depan.

"Dih, apaan. Ini kamar utama, kamar gue!" Dhafin menyeru. Sempat-sempatnya memegang gagang pintu itu agar Jihan tidak masuk.

"Heh, tadi lo yang bilang pilih sendiri. Yaudah gue dikamar ini!" Jihan melotot hingga perdebatan memilih kamar terjadi siang itu.

"Nggak bisa. Ini udah jadi kamar gue sejak rumah ini di bangun. Gue yang request! Udah lo pilih kamar sebelah kiri aja sana!" sergah Dhafin masih mempertahankan.

"Nggak mau. Kamarnya gelap. Disini ada balkonnya."

"Dua kamar belakang gih."

"No! Kamarnya kecil, mana nggak ada toiletnya lagi."

"Ck, banyak alasan lo."

"Lagian lo juga yang nggak mau ngalah sama cewek."

"Ya karena ini kamar gue."

"Tapi tadi lo bilang terserah."

"Gue salah sebut. Harusnya tiga kamar itu aja."

"Ah, nggak ada, nggak ada. Pokoknya gue disini. Titik nggak pake spasi!" mutlak Jihan sedikit memekik.

"Gue juga maunya disini. Titik nggak pake emot!" Dhafin membalas menirukan gaya bicara Jihan.

"Yaudah!"

"Oke!"

Beberapa detik perdebatan itu hilang sejenak. Keduanya saling membungkam diri. Tunggu, kalau Jihan dan Dhafin ingin dikamar yang sama, itu berarti keduanya tentu sekamar.

Jihan langsung menyadari hal itu. "Terus, kita sekamar gitu?" gadis itu melotot.

Dhafin mengedikkan bahunya acuh. "Itu kalau lo mau," katanya dengan santai. Lalu membuka pintu kamar itu dan menutupnya kembali.

Dhafin: Bad Boy HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang