S A T U

950 53 2
                                    

Jihani Arzela Azhari berdiam diri di balkon hotel menatap langit malam nan kelam. Wajahnya tampak murung. Ia tak menyangka di usianya yang ke delapan belas tahun sudah berubah status. Sejak satu jam yang lalu, di depan penghulu dan para keluarga besarnya, ia resmi menjadi seorang istri dari musuh adu bacotnya, Dhafin Geantara.

Akibat perjodohan konyol yang direncanakan kedua orangtuanya dengan kakek Dhafin, hidup Jihan berubah 180 derajat. Sungguh, ini adalah hidup tersial yang pernah Jihan rasakan. Bagaimana tidak? Dia harus menikah ketika masa SMA yang seharusnya ia gunakan belajar untuk masa depan. Lebih parahnya lagi, dia harus hidup bersama dengan Dhafin si monyet kegatelan.

Julukan itu memang Jihan berikan untuk Dhafin karena laki-laki itu tidak bisa diam, ngegombal kayak gembel, dan mulutnya kayak knalpot bajaj. Sial sekali Jihan harus mengenal sosok lelaki seperti Dhafin.

Dhafin yang baru saja keluar dari kamar mandi, memperhatikan Jihan dari belakang. Air mukanya tidak tengil seperti biasanya. Dia tahu, Jihan tentu tidak senang dengan pernikahan dadakan ini. Diamnya Dhafin mengantarkan cowok itu pada kejadian tiga hari lalu dimana ia dijodohkan paksa oleh kakeknya sendiri.

"Ya nggak bisa gitu dong, Kek. Kakek nggak bisa jodoh-jodohin aku kayak gitu."

"Ya bisa dong."

"Bisa gimana? Lagian aku masih SMA! Masih pengen sekolah. Kakek juga nggak mikirin apa cewek yang bakal dinikahin sama aku bakal hancur hatinya!" Dhafin menolak permintaan kakeknya mentah-mentah. Remaja mana yang tidak menolak ketika masa depannya direnggut paksa.

"Halah, gegayaan kamu pengen sekolah. Kalau rajin, pasti tahun ini kamu udah kuliah," cibir kakek.

"Tapi Kek--"

"Kakek tidak mau tahu, kamu akan Kakek jodohkan dengan cucu teman Kakek dulu. Anaknya baik, pinter, cantik. Kakek yakin dia bisa merubah kamu menjadi lebih baik."

"Nggak!"

"Kamu berani menolak?" Kakek berkacak pinggang menatap tajam cucunya. "Mobil, rumah, apartemen, motor kamu Kakek sita!" Kakek berseru sembari menunjuk wajah cucunya.

Dhafin langsung melotot. "Nggak bisa gitu dong, Kek! Aku beli pake duit aku sendiri, nggak minta siapa-siapa!" Dhafin mengelak. Pasalnya dia sudah berpenghasilan sendiri. Semenjak Kakeknya sering sakit-sakitan dan ayahnya sudah meninggal akibat serangan jantung, Dhafin sebagai anak tertua dipercaya meneruskan perusahaan kakeknya.

"Tidak ada yang tidak bisa di dunia ini, Dhafin. Kamu beli masih pake duit Kakek aja bangga."

"Dih, enggak ya. Dhafin 'kan udah kerja. Perusahaan udah fiks jadi milik Dhafin." Dhafin mendelik.

"Belum dong. Kamu masih menjadi pengganti. Lagian yang mendirikan perusahaan siapa? Yang bikin perusahaan maju itu siapa? Kalau nggak ada Kakek hidup kamu nggak akan senang kayak gini."

Dhafin berdecak pelan. "Iya, dah, iya. Punya Kakek," ungkapnya dengan malas.

Dhafin frustrasi, ia mengacak-acak rambutnya sendiri sampai bentuknya udah kayak rambut singa. Dhafin cuma bisa pasrah menuruti keinginan kakeknya demi barang-barang kesayangan yang sudah ia beli dengan jeri payahnya sendiri. Masa iya mau disita, percuma dong dia nabung. Apalagi rumah. Rencananya rumah milik Dhafin itu akan ia tinggali bersama istri dan anak-anaknya nanti di masa depan.

Dhafin: Bad Boy HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang