27 : Ketika Mata Berbicara

19.2K 1.6K 134
                                    

Maudy menggoyangkan tubuh Zarra, mencoba untuk membangunkan adiknya namun tak ada balasan apapun yang bisa menghilangkan kecemasannya. Dia hampir saja berteriak kalau-kalau tidak sadar lengkingan amarah takkan membuahkan hasil. Errol, yang sebelumnya berjalan tak tentu arah dipanggil Maudy untuk duduk di sekitar mereka. Sayangnya, bocah kecil itu tidak bisa masuk ke dalam lingkaran sihir Haidar karena memang itu tujuan sihir pelindung. Mencegah sesuatu untuk masuk ke dalam.

“Uhuk ..., uhuk,” suara Nathan membuat Maudy terkesiap.

Gadis itu menoleh, menyadari Nathan tengah mengambil napas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya secara perlahan sebelum benar-benar membuka kelopak mata.

“Nat ...,” suara Maudy sangat pelan, tak terdengar Nathan yang tengah meringis sambil menyentuh kepalanya yang terasa pening luar biasa.

Pemuda itu sudah bertukar tempat dengan Zarra. Ia yang sebelumnya berada di pangkuan Maudy sekarang sudah terbaring di salah satu sisi gadis itu. Berjuang untuk duduk meski ulu hatinya terasa nyeri. Matanya pun masih berkunang-kunang, tetapi ia memaksa badannya untuk bangkit dengan mata memerhatikan sekitar. Sekejap, maniknya menemukan seorang gadis yang menatapnya penuh haru, air matanya sudah menganak sungai.

Ada jeda beberapa saat sebelum Nathan mengenali gadis di depannya.

“Maudy ...?” tanyanya ragu. Ketika mendapatkan anggukan pasti dari si gadis, tangan pemuda itu terangkat, menyentuh pipi Maudy. “Lo baik-baik aja, kan?” jemarinya mengusap permukaan kulit wajah Maudy, membuat air mata gadis itu berhenti mengalir.

“Saat ini baik-baik aja ...,” Maudy menelan ludah. “Mungkin.”

“Mungkin?”

Kepala Nathan miring sebelah, meminta penjelasan namun Maudy hanya menggeleng tak ingin meneruskan. Pandangan Nathan yang sebelumnya terfokus pada Maudy kini ikut-ikutan menatap Rufina yang sejak tadi menjadi pusat perhatian Maudy. Sekian saat menyadari keberadaan Zarra, Nathan berhenti sejenak. Dia memerhatikan kulit adik Maudy yang semakin pucat, dan tubuhnya yang basah secara keseluruhan.

“Zarra kenapa?” tanyanya pada Maudy.

Gadis itu menggeleng. “Tadi Haidar bawa Zarra udah dalam keadaan nggak sadar begini,” ia menarik nafasnya dalam. “Gue nggak tau apa aja yang udah dilakuin cowok itu sama adek gue.”

Pengalaman buruk yang didapatkan dari seorang Argie membuat Maudy awas akan orang-orang yang berada di sekitarnya. Apalagi pada orang yang ia lihat berada di pihak Argie. Dalam hal ini, yang dimaksudkan Maudy adalah Haidar. Dia ... Benar-benar benci dengan keadaan ini.

“Dia memang jahat,” Nathan berjeda, “tapi kalau udah nyangkut keamanan Zarra, cowok satu itu akan berkorban nyawa.”

“Gue nggak tahu kenapa lo bisa mikir sampai kayak gitu,” kilatan amarah tampak jelas di manik Maudy. “Tapi yang jelas, dia bawa Zarra dalam keadaan nggak sadarkan diri!”

“Haidar ke sini untuk nyelametin Zarra, Maudy.”

“Gue sama sekali nggak percaya.”

Nathan menghela nafas. Entahlah, dia juga tak mengerti mengapa bisa-bisanya membela Haidar yang jelas-jelas sudah banyak membunuh nyawa di dunia manusia. Dan gadis seperti Maudy yang tak tahu menahu tentang segala yang terjadi selama ia tak ada, takkan mengerti mengapa ia bisa berkata sedemikian rupa.

“Dia hanya ..., harus menuruti kemauan pemiliknya,” bisik Nathan pelan.

Kening Maudy berkerut dalam. “Apa-apaan? Apa dia semacam budak yang nggak bisa nolak .... Nat?” Maudy berhenti berbicara ketika Nathan mengambil alih Zarra dari pangkuannya. Pandangan Nathan yang sebelumnya hanya terfokus pada Maudy langsung beralih ke Zarra. Perasaan sesak tiba-tiba menghimpit hatinya, apalagi tatapan dalam itu ..., ah, sorot yang sangat ia rindukan.

FL • 2 [Armonía]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang