17 : Terkuburnya Rasa Sayang

30.8K 1.7K 68
                                    

Haidar masih duduk diam di atas pohon seraya memperhatikan aktivitas di dalam rumah pohon Errol yang sudah sangat tua. Setiap kali ia melihat rumah itu, dirinya selalu teringat hari di mana ia dilahirkan, dari abu kematian kakek Errol. Tubuhnya ini, kekuatan yang dimiliki, serta hati hangat yang tertutupi oleh sihir hitam Argie bukanlah miliknya. Kehidupannya adalah palsu, sama seperti Haidar di dunia manusia.

Jika saja ia bisa memilih dilahirkan seperti apa, ingin rasanya menjadi seorang manusia biasa yang tidak memikirkan hal lain selain mengejar kebahagiaan apa yang bisa ia peroleh dengan kesempatan yang ada. Berbeda dengan dirinya yang hidup untuk membahagiakan Argie.

"Haidar," panggilan lembut itu terdengar di telinga Haidar.

Keinginan untuk berbalik dan mengembalikan sapaan hangat itu sirna karena ia harus menatapnya penuh dengan ketegasan. Wanita cantik dengan rambut merah itu tidak gentar dipandangi tatapan menusuk dari Haidar. Justru Zarra mlayang mendekati pemuda itu.

"Ke mana kamu bawa Kak Maudy pergi?" pertanyaan Zarra sarat akan keinginan untuk mengetahui kakaknya baik-baik saja.

Haidar diam saja dan memilih untuk melompat ringan dari satu batang ke batang lainnya, diikuti Zarra yang masih menunggu jawaban. Hal yang ingin dihindari Haidar saat ini justru mengikutinya. Dia tak habis pikir, kenapa bisa, Zarra tetap mengikutinya setelah perlakuan yang ia terima?

"Haidar, tunggu!" Zarra berteriak, mencoba mengikuti Haidar yang semakin cepat. "Kamu harus jawab pertanyaan aku!" dia meminta lagi.

Bukannya Haidar tidak mendengar perkaataan Zarra diantara rimbunnya dedaunan yang ia tembus, namun ia yakin sekali pertanyaan itu akan berbuntut panjang. Jika ia membalasnya, Zarra pasti akan menanyakan hal lainnya. Oleh sebab itu, meski malam ini lebih dingin dari biasanya, ia akan tetap menembus angin malam ini.

"Aku nggak akan nyerah sampe kamu berhenti dan jawab semua pertanyaan aku!" teriakan Zarra membuktikan bahwa pemikiran Haidar benar adanya.

"Aduh," ringisan samar Zarra menyebabkan Haidar berhenti bergerak dan menoleh.

Matanya menyipit, mencari sosok Zarra yang mungkin saja terluka. Dia tidak mau, karena mengikuti pemuda sepertinya, Zarra menjadi terluka. Bagaimana pun juga, dulu ia lah yang merawat gadis itu.

Dia berbalik arah, melesat cepat dan berhenti tepat di depan Zarra yang duduk sembari menunduk dalam, menyentuh pergelangan kaki yang sepertinya sakit.

"Awas," Haidar menarik tangan Zarra sampai kaki gadis itu terlihat jelas di pandangannya.

Sesaat setelah pandangan Haidar pada kaki Zarra terlihat jelas dan ia sadar bahwa tak ada luka di sana, gadis itu menyentuh pergelangan tangan pemuda itu dan menggenggamnya erat. Menyebabkan Haidar mendongak.

"Kamu menipuku?" pandangan Haidar lurus pada manik Zarra.

"Kamu nggak akan berhenti sampai aku terluka," dia berjeda, "kenapa pura-pura nggak dengar panggilan aku?"

Setelah ditanya seperti itu, bukannya menjawab, Haidar justru memalingkan wajah dan berusaha melepaskan kungkungan tangan Zarra. Karena terlalu kuat dan Haidar tidak berniat melukai Zarra, akhirnya pemuda itu kembali menatapnya.

"Lepas ...," mata Haidar melirik tangannya yang digenggam erat Zarra kemudian kembali lagi pada wajah gadis itu. "... sekarang."

Zarra menggeleng keras mendengar ucapan bernada tegas itu. "Nggak sampai kamu jawab pertanyaan aku. Sampai kamu nggak menghindari aku lagi."

"Jangan terlalu percaya diri," Haidar memiringkan kepala dengan wajah datar. "Apa masuk akal jika aku menghindari kamu?"

Pegangan Zarra menguat. "Tapi kamu melakukannya, Pa."

FL • 2 [Armonía]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang