Selesai. Hanya satu kata itu yang berhasil membuat Rean mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. Segala jenis laporan yang akan dikirim ke dewan komisaris sudah berhasil ia selesaikan.
"Jam enam," gumam Rean serak. Secepat mungkin ia meraih sebotol air mineral, meneguknya hingga tandas. Bukan enam sore, melainkan enam pagi, dan berarti sudah menjadi tanda bahwa ia tidak tidur malam tadi.
Rean memejamkan mata sejenak, merenggangkan tubuh, lalu dengan sengaja membanting punggung di kursi putar, mengecek ponsel yang entah berapa lama ia abaikan.
Gio, Dikta. Kedua adiknya itu mengirim pesan begitu panjang, sama halnya dengan Nanta yang bertanya apa mau dibawakan sarapan?
Gio
Bang, baik-baik lu, ya, sama adik-adik lu.
Proposal bulanan udah gue buat, siang entar gue kirim softfile-nya ke sini.Gio
Lo udah kagak pulang dua hari, elah!
Lo ke mana aja, dah?
Masih hidup, kan?
Bang! Kalau kagak balas, gue potong, ye, uang saku lo!"Bocah," umpat Rean, tertawa pelan. Membalas pesan dengan singkat. Gio masih menyimpan dendam dengannya, huh?
Masih.
Lo potong uang saku gue, gue potong anggaran bulanan kalian.Dikta
Kapan pulang?
Gio nanti ke perusahaan.
Ada baju ganti?
Makan apa lo? Gue nggak mau ada drama pas pulang ke rumah."Bawel," kutuk Rean. Membuka laci bagian bawah, lalu memeriksa bag paper-nya. Baiklah, hanya ada selembar baju ganti dan sudah tidak bisa dipakai lagi.
Bentar lagi pulang.
Tolong, bawakan baju gue.
Maaf, kayaknya bakal ada. Sampai di rumah, gue janji langsung istirahat.Pintu ruangan terbuka, Rean yang membalas pesan sembari menopang kepala dengan sebelah tangan langsung tersentak, memperhatikan seseorang yang muncul di sana.
Bukan Gio, ataupun Dikta. Untunglah.
"Ketuk dulu, Nay," peringat Rean.
"Sudah, kamunya yang nggak dengar," jawab Naya. Menutup kembali pintu, lalu mengernyitkan dahi dengan heran, memperhatikan Rean dengan meneliti.
Rambut kering dan berantakkan, wajah kusam dengan cekungan mata yang menghitam, wajah itu juga terlihat pucat.
"Kamu nggak pulang ke rumah lagi?"
Sebagai jawaban, Rean menggeleng pelan, mengangkat sebelah sudut bibir. "Baru selesai."
Naya mengembus napas berat, mendekat ke meja Rean dengan raut wajah cemas, memperhatikan file dan data-data yang masih terlampir di layar. "Mau diprint?"
Rean mengangguk. "Beberapa rangkap, buat disimpan bagian arsip kita juga."
"Biar aku yang print," tegas Naya, setengah menyita laptop Rean lalu membawa ke ruangan sebelah sejenak. "Kamu sudah sarapan?"
Dengan setengah mata terpejam, Rean menggeleng, masih menopang kepala dengan sebelah tangan. "Nanti."
"Malam tadi kamu makan?"
Rean diam saja, Naya mengerti maksudnya. Secepat mungkin ia menempelkan telapak tangan ke dahi lebar itu, di luar dari suhu tubuh normal. "Sesekali perhatikan diri kamu, Rean. Hari ini kamu pulang, beberapa jadwal kamu sampai dua hari ke depan biar aku kosongkan. Sisanya, aku yang urus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Teen FictionDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...