JANGAN SEPERTI WAKTU,
CINTA.[ v. ]
Bicara soal kesempatan, seni memiliki banyak makna untuknya.
Pertama, kesempatan untuk mencoba; ke-dua, kesempatan untuk gagal; ke-tiga, kesempatan untuk memperbaiki; ke-empat, kesempatan untuk melakukan yang terbaik; terakhir, kesempatan untuk improvisasi.
Sama halnya dalam seni mencinta.
Ada banyak kesempatan yang boleh dimanfaatkan untuk menjadi sosok yang berhak dicintai dan berhak mencintai.
Raya ingin mendapat kesempatan. Nahas, justru ia yang memberi kesempatan; seperti cara waktu bekerja bagi manusia.
Raya ingin mendapatkan kembali hak atas perasaannya yang telah lama direnggut paksa. Nahas, justru ia yang perlu mengembalikan perasaan yang tak pernah ia sentuh.
Dengan hadirnya Nayundra Mila, hidupnya seolah mengulang perilaku yang tak pernah absen dari doa-doa yang Raya panjatkan setiap saat, perilaku yang Raya mohon agar Tuhan tak perlu anugerahkan dalam jati diri Raya.
Dengan kisahnya nan pilu, Raya hanya tak ingin ada manusia lain mencicip lukanya.
Raya tak ingin seperti itu.
Raya tak ingin seperti waktu.
Raya tak ingin mencabut kesempatan manusia lain dari dalam hidupnya, tak peduli seberapa hancur hati dan seberapa kuat berontak logika.
Raya ingin punya kendali atas diri, dan Raya akan mendapatkannya. Raya harus mendapatkannya. Harapan terakhirnya.
Raya ingin melawan bayang masa lalu yang merantainya, Raya tak bisa hidup berdampingan bayang itu dan mustahil untuk mendapat hak bahagianya.
Raya tak bisa terus tinggal dalam masa lalu, tak bisa terus melihat gambar kenangan yang membuatnya letih dalam menjalani hari, dan tak bisa terus bernapas dengan usangnya kesendirian.
Raya harus berdiri dan berjalan, tegas logika.
Raya harus kuat dan berani, bisik hati.
Raya harus mampu menentukan arahnya melaju, bersama-sama dengan waktu, kata Raya.
Tujuh hari dan enam malam berlalu, Raya berdiam diri ditemani bayang masa lalu yang tak pernah sekalipun gagal menaklukkannya.
Enam hari dan lima malam berlalu, kali terakhir untuk Raya melihat sosok Fanny yang menangis sesal dengan mentari yang menutup diri sore itu.
Lima hari dan empat malam berlalu, Raya tak lagi mendengar tegur sapa Windi maupun Gisela melalui pesan teks.
Empat hari dan tiga malam berlalu, saat Raya terakhir mendengar gerutu kehidupan kampus dan warna-warninya.
Raya mengurung diri dan menutup hati, karena hanya boleh suara masa lalu yang memberinya nyawa saat masa jatuhnya kembali berkuasa.
Namun, tak se-hari pun tanpa hadir Nayundra.
Nayundra Mila, kekasihnya.
Kekasihnya yang mencoba untuk menebus kesalahannya, masa lalunya, dengan hadir untuk Raya.
Tak peduli seberapa kasar setiap kata yang lepas dari mulut Raya.
Tak peduli seberapa kuat Raya dorongnya jauh.
Tak peduli seberapa lelah dirinya sendiri atas segala penolakan Raya untuk menginvasi hidupnya.
Nayundra Mila akan tetap kembali.
Kembali padanya, untuknya.
Merapal maaf seperti panjatan doa.
Membawa berbagai hal sebab tak ingin datang dengan tangan kosong setiap siang maupun sore hari ia mengetuk pintu kost Raya.
Nayundra selalu berdiri di sana.
Senyumnya sama, pandangnya sama, lelahnya sama. Nayundra tak berubah sedikit pun, untuk Raya.
Tak terkecuali sore ini, ketika gadis itu datang kembali dengan kresek putih yang berisikan dua kardus martabak ditemani badai hujan yang membasahi seluruh pakaiannya, kecuali martabak yang hendak diberinya kepada Raya.
Nayundra melindunginya seolah itulah caranya melindungi perasaan Raya.
"Sore, Raya. Aku bawa martabak, kamu suka martabak 'kan? Aku nggak tahu kamu sukanya yang manis atau asin, jadi aku beliin dua-duanya," Nayundra tersenyum, menyodorkan kresek itu ke arah Raya yang menerimanya tanpa perlawanan.
"Maaf, aku basah kuyup gini, jadi ngotorin teras kamu. Tapi, martabaknya nggak basah kok. Ini lantainya aku pel, boleh? Aku takut kamu kenapa-napa kalau gak sengaja nginjak."
Raya merasakan hatinya menghangat ketika Nayundra tampak sibuk meraih tisu dari dalam tasnya, berusaha membuktikan kebenaran ucapannya di hadapan Raya untuk kesekian kalinya.
"Mau masuk?"
Nayundra sontak membeku pada posisinya, fokusnya pun kembali pada Raya yang masih pada posisi dengan segenggam kresek pemberiannya.
Nayundra mengerjap beberapa kali, tak percaya dengan telinganya sendiri.
"Maaf, barusan kamu bilang apa?"
Pada akhirnya, Raya mampu tersenyum lagi.
Ironinya, karena Nayundra.
"Mau masuk? Hujannya makin deras, mobil kamu di luar gang, kan?"
Nayundra mengerjap lagi.
"Eh, nggak usah kalau kamu nggak nyaman, aku pinjam payung aja-"
"Nayundra, payung pun nggak bisa nutup seluruh badan kamu dari hujan se-deras ini, masuk dulu aja nggak papa."
Mungkin, baru kali ini Raya memperjuangkan suatu hal, demi kebaikan manusia lain.
Meski Nayundra masih tampak hilang sesaat, senyum gadis itu tak mampu memungkiri fakta bahwa ia merasa senang mendengar tawaran Raya mengingat Raya yang selalu mengusirnya tiap kali ia datang sebelumnya.
Raya membalas senyumnya, menggeser tubuhnya untuk memberi ruang bagi Nayundra.
Memberi ruang bagi Nayundra untuk menginvasi hidupnya lagi.
Raya mendengar suara tas yang diletakkan dan kursi berderit sebab beban yang tertahan.
Raya menatap langit dengan seutas senyum.
Hei langit, tidak 'kah kau lihat, siapa yang punya kendali diri?
Hei langit, tidak 'kah kau lihat, siapa yang berhasil melawan paksaan masa lalu untuk jadi seperti waktu?
Hei langit, tidak 'kah kau lihat, seperti apa Raya sekarang?
Untuk langit, dengar 'kah bahwa Raya tak ingin menghapus kesempatan Nayundra dari hidupnya? dan, Raya menepati ucapannya.
[ Kanvas Mencinta, bersambung ]
Maret 2022
tertanda, applefalls.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanvas Mencinta • 2Shin ✓
FanfictionRaya dan keras kepalanya pun tak mampu taklukkan kehendak semesta. copyright: 2022, written by applefalls