Kotak Surat Di Bawah Pohon Cemara

13 1 0
                                    

“Sebuah rasa yang hadir beberapa hari ini, sungguh membuat tidurku tak nyenyak. Makan pun tak nikmat. Hatiku dipenuhi gelisah dan resah. Aku memandang langit malam penuh bintang, namun aku tak dapat melihat keindahannya. Semua tertutup oleh rasa rindu pada dia yang aku pun tak tahu siapa.”

 
Penggalan kalimat yang ditulis Ranum pada sebuah surat yang tak tahu akan dia berikan pada siapa. Sudah hampir tiga bulan Ranum menulis surat cinta yang berisi tentang perasaannya. Kemudian dia meletakkan surat itu di sebuah kotak surat yang ditemukannnya saat dia berulang tahun. Kotak surat yang berbentuk rumah dan berwarna pink itu ada di bawah pohon cemara dekat rumahnya. Entah siapa yang membuat dan meletakkannya di sana. Ranum hanya merasa dia akan menemukan kekasih idamannya saat dia meletakkan surat cintanya di kotak surat tersebut.

Tidak pernah ada balasan yang diterima Ranum selama dia menulis surat itu. Kotak suratnya hanya semakin penuh dengan suratnya dari hari ke hari. Ranum masih percaya jika jodoh yang diidamkannya akan membalas surat darinya. Baginya tidak ada hal yang tidak mungkin. Dia hanya perlu berdoa dan terus berusaha. Dia sudah cukup lama sendiri setelah kepergian kekasihnya.

Dulu – sebelum kekasihnya pergi – Ranum adalah gadis yang sangat ceria dan percaya diri. Dia sangat ramah apada semua orang. Namun sikapnya berubah menjadi sangat pendiam. Orang terdekatnya mengira Ranum hanya terlampau sedih karena kepergian kekasih hatinya dan akan kembali ceria dalam beberapa waktu. Tapi siapa sangka, Ranum benar-benar berubah. Meski sudah lewat lima tahun peristiwa yang merenggut nyawa kekasihnya itu terjadi.

Bukan tanpa alasan Ranum bersikap seperti demikian. Menurutnya, kematian yang kekasih adalah salahhnya. Ranum terus menyalahkan dirinya. Dia menganggap tak pantas untuk dicintai siapapun lagi. Dia takut hal serupa terjadi lagi saat dia mulai jatuh cinta. Rasa bersalah, penyesalan, dan rasa takut terus menghantui dirinya.

 
Sudah seminggu Ranum berhenti menulis surat. Setiap hari dia hanya berkunjung, melihat kotak surat itu. Lagi-lagi, kotak suratnya masih penuh dengan tulisan Ranum yang dibalut amplop berwarna pastel. Jika tetap tidak ada balasan, Ranum berjanji akan berhenti menulis surat di akhir musim hujan.

“Ini terakhir aku ke sini, kalau memang tidak ada, aku tidak akan kembali lagi”, ucap Ranum sambil menuju pohon cemara tempat kotak surat itu. Betapa terkejutnya Ranum saat sampai, semua surat yang ditulisnya tidak ada. Hanya ada setangkai bunga mawar dengan balutan kertas putih. Ranum membuka kertas yang membalut bunga mawar tersebut. Ternyata itu adalah surat balasan untuk belasan surat yang ditulisnya.

 
“Jika kau tidak bisa melihat keindahan malam yang bertabur bintang, coba pejamkan matamu sejenak. Rasakan angin yang berhembus di sela rambutmu. Resapi setiap suara yang terdengar. Kemudian buka matamu, maka kau akan menemukan indahnya malam penuh bintang lengkap dengan sinar rembulan. Aku tidak tahu siapa yang sedang kau rindu, tapi aku yakin jika dia juga sedang merindumu. Tersenyumlah, agar dia yang kau rindukan merasakan betapa hangatnya senyum yang kau beri untuknya.”

 
Hati Ranum berdebar membaca surat yang tidak tertulis nama pengirimnya itu. Namun dia yakin dan percaya, jika surat itu ditujukan untuknya. Rasa yang selama ini hilang, kini kembali dalam hatinya. Resah dan gelisah yang selalu menyelimutinya, lenyap begitu saja. Ranum menyimpan bunga mawar itu di vas pemberian kekasihnya dulu. Menggantikan mawar-mawar pemberian kekasihnya yang telah layu.

 
“Aku senang, Tuhan telah memberiku jawaban atas semua pertanyaanku yang tersimpan. Bahagiaku mungkin belum kembali dengan sempurna, namun surat balasanmu sungguh memberi arti yang luar biasa. Meski aku tak tahu siapa dirimu, aku mohon tetaplah berbalas surat denganku. Tak perlu bertemu jika memang kau tak mau. Hal yang sudah kau lakukan untukku ini sudah lebih dari cukup.”

 
Terpancar raut bahagia di wajah Ranum. Bak wanita yang sedang jatuh cinta, Ranum benar-benar melupakan sedih yang dia rasakan selama ini. Perasaan takut dan rasa bersalahnya perlaham mulai pudar. Ranum yang ceria dan percaya diri, telah kembali meski belum sepenuhnya. Ranum sungguh bersemangat berbalas surat dengan sang pemberi mawar. Pun dengan sang pemberi mawar, selalu memberi semangat positif untuk Ranum agar selalu bahagia.

 
“Bahagia itu kita sendiri yang ciptakan, bukan orang lain. Jangan pernah menggantungkan bahagiamu pada orang lain. Yang tahu kadar bahagiamu adalah kamu sendiri. Tetaplah menebarkan aura positif untuk orang-orang sekitarmu. Kita mungkin belum pernah bertemu, namun aku ingin kau tahu satu hal, aku akan selalu ada saat kau butuh orang untuk mendengarkan ceritamu. Meski hanya melalui tulisan, aku akan berusaha untuk menjadi orang yang selalu ada untukmu.”

 
Ranum merasa kekasih yang meninggalkannya telah kembali. Sang Pemberi Mawar yang tak pernah ditemuinya meski dalam mimpi memberi harapan baru untuknya. Mimpi-mimpi yang selama ini dia kubur dalam-dalam, satu per satu mulai diraihnya lagi. Rasa bersalah dan penyesalan yang menghantuinya, perlahan mulai memudar. Ranum memang tidak akan pernah melupakan peristiwa yang dialami kekasihnya. Namun, dia akan menjadikan itu sebagai pelajaran berharga selama hidupnya. Bahwa jika kita mencintai, maka kita juga harus siap untuk kehilangan.

 
Sang Pemberi Mawar sungguh menjadi pelipur lara untuk Ranum yang terluka oleh cinta yang tak bisa dia miliki. Doa yang selalu diucapkannya setiap hari, kini telah dikabulkan. Dia sudah tidak mau memaksa untuk memiliki semua yang dicintainya. Asalkan sama-sama bahagia, maka Ranum juga akan menerima dengan ikhlas kenyataan yang ada.

“Aku berterima kasih padamu untuk segala hal terbaik yang telah kau lakukan untukku. Meski kita belum pernah bertemu, aku yakin kamu adalah orang yang dipilih Tuhan untuk menjagaku. Entah bagaimana caranya. Aku percaya, Tuhan mengirimkanmu untuk menjadikanku lebih kuat. Menjadi wanita yang selalu percaya diri dengan segala hal yang kuingini.”

 
Hampir tiga minggu Ranum berbalas surat dengan Sang Pemberi Mawar. Ranum mulai mulai menginginkan lebih. Dia ingin berjumpa dan bertukar cerita sambil bertatap mata. Memberi rasa juga memberi asa. Namun, keinginannya malah membuat cerita berbeda. Sang Pemberi Mawar berpamitan untuk tidak mengirim surat lagi pada Ranum. Lagi-lagi, Ranum merasa hal itu terjadi karena keinginannya.

 
“Aku pikir sudah cukup lama kita bertukar cerita, dan kamu sudah kembali menjadi Ranum yang ceria. Sekarang waktunya aku untuk undur diri. Ini bukan salahmu. Hanya saja tugasku sudah selesai. Aku mungkin akan merindukanmu, begitu pun dengan dirimu. Tapi, ingatlah satu hal, kamu harus melupakan aku. Lupakan semua hal yang terjadi di antara kita. Berjanjilah untuk hidup bahagia. Ini adalah surat sekaligus mawar terakhirku untukmu.”

Tak terasa air mata Ranum menetes deras saat membaca surat terakhir dari Sang Pemberi Mawar. Dunianya kembali runtuh. Ranum berusaha tegar. Tempatnya bercerita kini tiada lagi. Dia berjanji akan hidup bahagia. Sesuai dengan permintaan Sang Pemberi Mawar.

“Aku mulai merindukanmu, tapi kau malah meninggalkanku. Aku berjanji akan hidup bahagia. Seperti katamu, aku tak boleh menggantungkan bahagiaku pada orang lain. Maka aku akan menciptakan bahagiaku dengan terus mengirim surat untukmu. Meski aku tahu, kau tak akan pernah membalasnya lagi.”

 
Sejak saat itu, Ranum terus memenuhi kotak surat tersebut dengan tulisannya. Masih berharap Sang Pemberi Mawar akan membalas suratnya.

Rindu Tak BerujungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang