Apa aku terlalu hancur untuk pantas menjadi bahagia?
***
Liora lagi-lagi menghembuskan nafas berat setelah kepulangannya dari sekolah. Raganya pulang ke 'rumah' namun jiwanya tidak merasakan 'rumah'.
Gadis itu pulang ke rumah ayahnya, artinya dia harus berhadapan dengan ayahnya, ibu tiri serta Divana. Liora tidak menyukai rumah itu, namun mau tidak mau ia harus berada disana. Minggu ini adalah jadwalnya tinggal di rumah sang ayah.
"Baru pulang?" Seorang pria paru baya menggunakan jas bermerek yang sedang duduk di ruang tamu menatap putrinya yang baru pulang ditengah malam.
"Perduli?" Sahut sang putri tak terima.
"Tentu, kamu anak Papa!"
"Anak atau alat?" Liora tertawa hambar.
"Kamu!"
Dengan cepat Liora mengambil langkah menuju kamarnya di lantai dua dan meninggalkan ayahnya yang belum menyelesaikan kalimatnya.
Dengan hati gundah Liora masuk ke kamar mandi dan berendam di dalam sana. Menghidupkan rokok di tangan kanan, menyetel musik dan menenangkan dirinya.
Liora menyenderkan kepalanya di sudut bathup. Liora berharap dia bisa menyenderkan kepalanya kepada seseorang agar dirinya menjadi lebih tenang. Namun, Liora tidak mempercayai siapapun dan tidak mau membagi kesedihan kepada sahabatnya.
***
Axell yang melihat adik satu-satunya yang baru pulang tengah malam menghembuskan nafasnya lega. Axell tidak takut apapun selain kehilangan Liora. Ia bersumpah pada dirinya akan menjaga Liora, bahkan mati pun ia rela demi adiknya.
Baginya Liora adalah kaca yang sudah pecah berkeping-keping namun tetap berpura-pura menjadi utuh. Axell tidak mau kaca berhenti berpura-pura. Setidaknya masih itu jalan terbaik untuknya.
Sudah 2 jam berlalu, Axell mulai merasa khawatir terhadap adiknya yang tidak bersuara sejak pulang. Ia menuju kamar Liora yang tepat di sebrang kamarnya.
Pintu tidak dikunci, Axell membuka gagang pintu dan aroma khas adiknya merasuki indra pinciumannya.
Liora tidak ada, Axell langsung panik dan mengecek di segala sisi ruangan hingga ia membuka pintu kamar mandi. Ia lega melihat Liora yang tertidur dengan kepala menyender di sudut bathup. Namun ia juga khawatir, adiknya itu berendam sudah berapa lama dan hanya memakai pakaian dalam.
"Bangun Li." Panggil Axell lembut.
Liora terlalu nyenyak dalam tidurnya, Axell bergegas mengangkat Liora dan memindahkannya ke tempat tidur. Dengan telaten Axell mengeringkan tubuh Liora serta memakaikannya pakaian tidur.
Ini bukan pertama kalinya Liora begitu. Axell sudah sering menemukannya tertidur di kamar mandi dengan puntung rokok bertebaran di lantai kamar mandi. Hal yang Axell lakukan sekarang seperti rutininas yang wajib ia lakukan sebelum ia tidur.
Axell menyelimuti adiknya lalu menatapnya dengan sayang dan khawatir. "Kalau aja gue berguna, lo bakal bahagia Lili."
"Dan gue bakal tetap bisa manggil lo Lili disaat lo sadar maupun tidur."
Keluarga Liora selalu memanggilnya dengan nama Lili. Namun sejak hari itu, Liora membenci namanya. Bukan hanya nama panggilan, bahkan nama belakangnya pun ia benci.
Dengan menghembuskan nafas panjang, Axell senyum lalu mengecup kening adiknya. "Selamat tidur Lili kecil."

YOU ARE READING
SANDAR
Fiksi RemajaDia tetap hidup walau jiwanya sudah mati, Tetap bernafas walau setiap hembusannya terasa pilu. Ia hanya butuh sandaran, tidak lebih.