Kemana aku harus pulang kalau 'rumah' saja aku tidak tahu yang mana?
***"Kamu harusnya belajar kaya Diva! Pintar, cantik, baik, jago akting pula. Harusnya kamu ikut jejak papa kaya Diva!"
Liora menulikan telinganya, ia tahu bahwa seharusnya ia tidak perlu sarapan bersama dengan keluarga palsu itu.
"Cukup pa!" Axell menatap Dirgantara dengan tatapan dingin. Laki-laki itu membenci apapun yang menyakiti hati adiknya.
"Papa keterlaluan!" Axell mengambil tas ranselnya lalu menarik Liora keluar dari rumah. Meninggalkan ketiga orang busuk di ruang makan dengan wajah ternganga.
Axell tidak pernah melawan ayahnya. Ia selalu menuruti ayahnya dan selalu diam saat ayahnya membandingkan Liora dengan saudara tirinya. Bukan karena takut, namun ia menghargai Dirga sebagai ayahnya.
"Kenapa bela gue?" Tanya Liora di sela-sela berjalan menuju garasi.
"Malam ini tidur di rumah aja ya Li?" Axell menatap Liora yang sibuk dengan kegiatannya menghidupkan rokok.
"Rumah yang mana?" Liora tertawa kecut.
"Rumah kita Li."
"Nanti bokap lo kebakaran kaya setan."
"Bukannya emang udah kaya setan?"
Liora tertawa kecil, hal itu membuat hati Axell hangat. Ia selalu merindukan tawa adik kecilnya yang sudah lama tak diperlihatkan untuknya. Seandainya Axell bisa menghentikan waktu, ia akan hentikan waktu sekarang untuk melihat tawa Liora lebih lama lagi.
"Kita sejahat apa ya sampai harus dihukum semesta segitu hebatnya?" Liora menatap langit sembari menyenderkan badan di motornya.
Axell mengambil rokok dari mulut Liora lalu menghisapnya. "Itu karena semesta tahu hanya kita yang mampu melewatinya Li."
"Kalau gue terlahir kembali, gue pengen minta untuk gak bertemu siapapun yang ada di kehidupan sekarang."
"Termasuk gue?"
"Ya, karena gue mau lo punya kehidupan yang lebih baik bahkan adik yang lebih baik dari gue."
"Lo yang terbaik Li." Gumam Axell dengan suara kecil namun tetap terdengar oleh Liora.
"Gak bang, seandainya gue gak ada di dunia ini mungkin sampai hari ini lo masih bahagia."
"Abang, Diva nebeng ya ke sekolahnya. Soalnya Baska ga bisa jemput Diva hari ini." Rengek Diva yang baru keluar dari rumah.
"Najis!" Liora meraih helmnya lalu menunggangi motor besarnya.
"Sirik aja lo murah!" Diva memutar bola matanya.
Liora yang mendengar perkataan Diva langsung melepaskan helmnya lalu membantingkannya ke tanah. Ia turun dari motornya lalu mendekati Diva.
Diva yang melihat ekspresi Liora ketakutan setengah mati. Semua orang tahu persis, Liora itu bagaikan macan. Sedikit aja kamu melewati batasan jaraknya maka kamu akan diterkam.
plak
"Ngomong sekali lagi!" Bentak Liora.
"Apaansih!" Diva yang baru saja hendak menjambak Liora namun segera ditangkis oleh Liora.
Liora mengunci kedua tangan Diva lalu menjambak rambutnya dengan kuat. "Berjusud cium kaki gue atau lo botak?"
"Papa! tolongin Diva papa!" Diva berteriak sambil merintih kesakitan.
Axell hanya mampu menonton, ia tidak ingin lerai karena ia senang Liora bisa membela dirinya sendiri. Selain itu, Axell juga sudah lama ingin menjambak Diva dengan tangannya sendiri namun ia sadar ia terlalu lakik untuk menyentuh gadis tak tahu diri itu.
"Apa-apaan ini! Liora lepasin Diva!" Bentak Dirga yang keluar bersama Sarah a.k.a ibu tiri Liora.
"Kok kamu jahat banget sama Diva sih Li?" Sang nenek lampir bergelendotan di lengan Dirga sambil menutup mulutnya dramatis.
"Diam lo pelakor, macam-macam mati anak lo di tangan gue!"
"Liora!" Wajah Dirga memerah karena emosi.
"Axell tolongin adikmu nak." Lirih Sarah.
"Sakit banget Mi, tolongin Diva."
Dirga maju hendak melerai mereka. Namun Liora mengeluarkan suara yang membuatnya terhenti. "Maju satu langkah jalang ini habis di tangan aku."
"Sujud dan cium kaki gue atau lo botak!" Liora mengencangkan jambakannya.
"Pa..." Lirih Diva.
Dirga hanya bisa menahan amarahnya. Liora ini anak yang nekat. Siapapun yang mengganggunya maka akan ia terkam.
"Sujud gak!"
"I..Iya gue sujud." Diva berjongkok lalu bersujud di depan Liora.
Liora yang tak puas mengangkat kakinya mendekat ke wajah Diva. "Cium!"
Diva melirik Dirga dan Sarah untuk meminta pertolongan. Namun keduanya tidak berkutik sedikit pun. Dirga sering melakukan kekerasan kepada Liora namun kali ini perdana ia melihat amukan Liora.
"Lama amat!" Liora langsung menempelkan kakinya ke mulut Diva dengan sedikit menendang.
"Makan tuh anak pelakor murahan!"
Setelah itu Liora mengambil helmnya yang tergeletak di bawah tanah lalu menyalakan motornya dan pergi meninggalkan rumah.
Dirga masih dengan emosinya serta Sarah dan Diva dengan wajah yang tidak terima. "Mas, anak kamu loh kok gitu kelakuannya. Harusnya kamu hukum aja mas, sita kek motornya, uang jajannya dikasih ke Diva kek, apa kek gitu. Kasian nih Diva diperlakukan kek gitu, kamu gapapa kan sayang?"
Sarah berjongkok membopong Diva untuk berdiri. Diva memasang ekspresi menyakitkan sembari menangis, seakan-akan meminta belas kasih dari Dirga.
Axell memutar bola matanya malas pun ikut menaiki motornya hendak pergi. Namun Dirga menahannya. "Anterin Diva."
"Males."
Setelah kepergian Axell beserta suara motornya yang nyaring, Dirga hanya bisa menghelakan nafas. Marah tentu saja mendominasi dirinya.
"Jadi siapa yang anterin Diva ke sekolah pa?" Rengek Diva.
"Papa yang anterin."

YOU ARE READING
SANDAR
Fiksi RemajaDia tetap hidup walau jiwanya sudah mati, Tetap bernafas walau setiap hembusannya terasa pilu. Ia hanya butuh sandaran, tidak lebih.