"Terima kasih, karena sudah mau mendengarkan ceritaku, kakak yang tidak kuketahui namanya."
Angin di malam itu berhembus kencang, tanpa bintang di langit, dan laut yang tak dapat diperkirakan, kedalaman dan udara dingin menembus lapisan kulit mereka. Mata yang kesulitan melihat arah, sedangkan mata lain mengamati siluetnya dalam diam.
Pada 20 tahun yang lalu,
Bulan Juni, hari ketujuh,
Bising kendaraan dan kumpulan orang-orang yang berlalu-lalang meramaikan salah satu kota kecil di Akaland, tapi pada siang hari saat itu, suhunya mencapai 32 derajat Celsius, kebisingan dan gaduh pada cuaca seperti ini hanya menambah perasaan resah yang tidak nyaman. Karena itu kebanyakan orang memilih untuk tetap tinggal di rumah dengan alat pendingin ruangan yang menyala, serta beberapa kudapan dingin yang menyegarkan.
Di salah satu gang kecil, cukup jauh dari pusat kota, di mana udara di sana terasa lebih sejuk, mungkin karena terbebas dari polusi kendaraan dan padatnya kota. Para warga di sini lebih banyak menghabiskan waktu dengan membantu penduduk lain atau sekedar bertukar sapa dan obrolan ringan, terutama anak-anak, mungkin karena energi mereka lebih banyak dari orang dewasa, mereka lebih sering berlarian dan bermain hingga petang tanpa banyak energi yang berkurang-salah satu hal yang sangat diirikan oleh orang dewasa.
Salah satu dari sekumpulan anak-anak itu, yang berkulit khas tan, memiliki mata dan rambut pendek yang gelap, dengan kaos longgar yang menutupi tubuh kurusnya, jika seseorang melihatnya, banyak dari mereka akan bersimpati atau merasa kasihan. Anak yang menyedihkan namun terkadang memiliki kesan kuat dan tajam-Elan Flaer.
Sejak lahir, Elan terbiasa hidup terasingkan, bahkan kedua orang tua kandungnya pun tidak terlalu mempedulikannya, tapi walaupun begitu, dia tidak terlalu merasa buruk, karena sejak awal mereka tidak memberinya banyak perhatian, jadi dia tidak perlu merasa kecewa ataupun sedih. Lagi pula, seburuk apapun kondisi keluarganya, dia masih dapat makan sekali sehari setidaknya.
Dan setidak peduli apapun orang tuanya, mereka tetap adalah orang tuanya, Elan masih di bawah umur, yang notabenenya dilindungi oleh undang-undang, itulah sebabnya mereka masih mencari nafkah.
Untungnya mereka masih orang dewasa yang waras untuk tidak memiliki anak lain lagi, jadi mereka bisa menyekolahkan Elan setidaknya di sekolah yang cukup terjangkau.
Mungkin karena kondisi tertentu itulah, Elan lebih memilih untuk menghabiskan waktunya sendirian daripada bermain bersama anak-anak berisik yang menyebalkan, serta untuk menghindari tatapan dingin menjijikkan dari orang-orang dewasa itu. Sungguh membuatnya muak.
Tapi kebiasaan itu mulai berubah sejak gang mereka kedatangan keluarga lain sebagai tetangga baru. Kabarnya, keluarga kecil itu sedang menyewa satu bangunan di sekitar wilayah tepat di samping rumah keluarga Flaer.
Keluarga itu bermarga Cain, mereka tidak terlalu banyak bersosialisasi tapi tetap bersikap ramah pada orang lain. Kepala keluarga Cain, tampak tinggi dan jangkung, mempunyai wajah tampan dengan rona warna kulit yang sedikit pucat, dan rambut secokelat kayu pohon oak mencapai bahu. Sedangkan Nyonya Cain, wanita yang baik dan tampak cantik dengan rambut hitam legamnya serta mata dan tulang pipi yang besar. Mereka tampak masih muda, tapi mereka memiliki dua anak, masing-masing perempuan dan laki-laki.
Orang yang tidak tahu pasti akan berpikir bahwa tetangga baru mereka adalah pasangan yang baru menikah.
Bahkan Ibunya sendiri memiliki banyak kerutan di wajahnya, benar-benar keajaiban bahwa mereka masih tampak muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
[GL] BLOODY RUBY
General FictionSemua akan berubah seiring berjalannya waktu, bahkan permata ruby yang dulu selalu terlihat menawan dan cantik dengan kilaunya, kini mata itu kehilangan cahayanya, berubah menjadi lubang darah yang sangat dalam dan dalam, menjadi gelap dan kesepian...