Sakha, sejak usia tujuh tahun mulai jengah ketika harus selalu mengalah pada kakaknya yang cacat. Meskipun Syam tak pernah meminta padanya, tapi sang ayah akan melakukannya jika dia melihat putra kesayangannya itu kesulitan.
Seperti ketika tengah bermain mobil remot control, Syam hanya menatap seru bagaimana Sakha memainkannya.
"Kamu mau mencoba, Nak?" tanya Hangga pada Syam.
"Aku sulit memegangnya, Papa. Aku senang melihat Sakha bermain."
"Sakha! Kemari!"
"Iya, Papa!"
"Coba kamu pegangi ini dan biarakan Kak Syam mencobanya."
"Tapi, Papa, ini punyaku."
"Pinjamkan, Sakha. Kakakmu harus dibantu dan mencoba. Nanti papa akan belikan juga. tanganku normal, kamu harus selalu berdiri di sampingnya dan membantu kakakmu." Hangga menatap Sakha dengan serius.
Tak sekali dua kali, tak hanya mainan, apa pun yang Syam lihat dan membuatnya tersenyum, sang ayah akan meminta Sakha memberikannya dulu pada Syam agar mencoba. Jika Syam menolak barulah semua dikembalikan.
Mungkin, niat sang ayah baik, tapi di pikiran anak sekecil Sakha terasa tak adil. Dia diminta selalu membantu kakaknya, hal itu membuat dia jenuh dan lebih senang dengan hal-hal menyenangkan.
Sejak SMP dia sudah senang main musik, tapi sang ayah tak mendukung.
"Artis sekarang kaya-kaya lho, Pa, masa gak boleh jadi artis?" tanya Sakha dengan penuh harap.
"Sekaya-kayanya mereka, saat tua mereka harus tetap bekerja keras dan pandai merencanakan keuangan, investasi sana sini agar gak miskin di hari tua. Artinya kamu harus tetap belajar manajemen ekonomi." Hangga menatap putranya.
"Kan ada asisten, manajer."
"Mereka gak akan selamanya ikut kamu. Sama seperti manajerku dan kepala divisi di perusahaan, mereka bisa pergi ke mana saja. Tapi karena aku menguasai, dengan atau tidak ada mereka, bukan masalah besar."
"Benar, Papa, kita harus menguasai bidang usaha kita agar gak ketergantungan pada orang lain. Papa benar, Sakha, meskipun kamu jadi artis pendidikan tetap harus diutamakan supaya kamu bisa mengelola dan mengendalikan uangmu bukan diatur orang lain," papar Syam yang sudah SMA.
Sakha semakin tak suka dengan ayah dan kakaknya. Mereka sama, selalu memaksanya sekolah. Hanya ibunya yang paham setiap keinginannya dan memenuhi.
Begitu pun saat kuliah, Sakha tak pernah mendapatkan nilai baik. Alasannya dia lebih senang musik, sehingga setelah lulus kuliah pun dia berulang kali gagal mengelola bisnis entah itu kafe dan juga tempat wisata. Dia tak menguasai apa pun selain kesenangan.
Kini, dia merasa ayahnya tidak adil karena memberikan Viona pada kakaknya. Lagi-lagi semua miliknya harus dibagi pada Syam. Termasuk kekasihnya. Benar-benar menjengkelkan.
Dia ingin lebih dulu menikmati keremajaan Viona sebelum kakaknya. Tak jarang, Sakha akan merusak barang yang diberikan sang ayah untuk kakaknya. Membantingnya diam-diam dan meninggalkannya.
Seperti mobil remot hari itu. Setelah dicoba Syam, dia memberikannya pada sang kakak. Namun, diam-diam dia merusaknya sehingga tak bisa digunakan lagi.
Barang lain pun sama. Dia mengalah dengan memberikan game nintendo, tapi diam-diam dia rusuk dulu sehingga Syam tak pernah bisa menggunakannya. Namun, sang kakak selalu bungkam, tak pernah melaporkan tindakan adiknya itu. Dia mencoba paham, Sakha tertekan dengan sikap ayah mereka.
***
Syam sangat sibuk mengurus pekerjaan hari ini. Bahkan berulang kali menghubungi istrinya, tidak diangkat. Padahal terlihat online. Viona akan membalas beberapa jam kemudian dengan mengatakan dia tidak sedang memegang ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Getar Asmara
RomancePacaran dengan adiknya, dinikahkan dengan kakaknya. Viona pun memilih tetap menjalin kasih meskipun telah menjadi istri dari Syam Syailendra.