16 : SAINGAN

249 41 14
                                    

Malam harinya, benar saja keberadaan Rean menimbulkan kepanikan, terlebih lagi Gio yang bisa saja menyelimuti rumah dengan suaranya.

Gio yang memastikan keberadaan abang pertamanya itu langsung saja menyentak pintu dengan kuat. Mata yang tadi sibuk memperhatikan hidangan makan malam ala buatannya kini membulat seketika.

"Bang Dik!" panggil Gio, menoleh ke arah Dikta yang dengan santai menjulurkan kaki di sofa sembari berkitat dengan layar laptopnya. "Bang Rean hilang!"

Enggan menjawab, Dikta mengembus napas panjang, membenarkan letak kacamata.

"Dek!" Suara Gio benar-benar menghilangkan suasana hening di rumah, cowok itu meletak kembali nampan yang berisi menu makan malam ke meja ruang tengah, mengagetkan Nanta yang sibuk dengan ponselnya. "Bang Rean hilang, Dek!"

Diabaikan, Nanta mengirim pesan dengan orang di seberang, senyum terus mengembang sesekali tertawa pelan.

"Dek!"

"Eh?" Buru-buru Nanta menyembunyikan layar ponsel dari pandangan Gio. "Kenapa, Bang?"

"Lo kirim pesan sama siapa, dah? Senang amat kayaknya," tanya Gio penasaran, berusaha mengintip isi pesan tetapi lagi-lagi di sembunyikan Nanta. "Chat siapa?"

"Yesa," jawab Nanta, ragu.

"Benar?" Gio menatap menyelidik.

Kedua sudut bibir Nanta terangkat terpaksa mengangguk. "Tadi Abang bicara apa?"

Gio menggebrak meja, kembali panik. "Bang Rean hilang!"

"Dia di kamar gue," jawab Dikta, santai. Menyambar beberapa keripik singkong dari cemilan yang Gio bawakan tadi siang.

"Udah gue cek."

"Di bawah tempat tidur gue, udah?"

Gio terdiam sesaat, menautkan kedua alis dengan heran. "Emang ada?"

"Cek coba."

Dan benar, ada. Sebelah tangan seseorang tampak terjulur keluar dari bawah tempat tidur berukuran king size itu. Gio menggeleng tidak percaya, meletakkan makanan di meja nakas sejenak, lalu menyeret tubuh tegap itu agar dapat keluar. "Bang! Nggak mati, kan lo? Woi! Bang!"

Gio mengguncang tubuh itu, hingga Rean membuka sedikit mata, setengah sadar. Tanpa berbicara , lelaki itu tidur kembali.

"Ini orang minta gue lempar kayaknya," umpat Gio, mendudukkan Rean lalu menggamit sebelah lengan itu ke bahunya, setengah menyeret Rean untuk menuju kamar sebelah. Ya, sepertinya salahnya juga yang telah membiarkan lelaki itu sendirian di lantai atas.

Dikta? Nanta? Jelas, kamar hanya untuk tidur.

"Makan dulu lo," perintah Gio, setengah melemparkan abangnya itu kembali ke kasur. Lagi-lagi sepertinya ia harus terjebak lehih lama dalam ruangan penuh kelam seperti ini. Lampu yang remang, barang yang didominasi berwarna gelap sepadan dengan dindingnya. Rean benar-benar ajaib.

"Gue udah mandi tadi," racau Rean.

Gio berdecak, menepuk pipi di wajah bundar itu dengan pelan agar abang pertamanya itu dapat sadar seutuhnya. "Bang, Kak Naya datang," bisiknya, tepat di telinga Rean.

Berhasil. Gio tersenyum menyeringai. Rean yang benar-benar hibernasi sedari pagi tadi, kini membuka mata seutuhnya. Langsung saja ia meringis begitu merasakan ngilu pada bagian punggungnya.

"Nih. Spesial buat lo, jarang-jarang gue mau masak untuk makan malam." Gio langsung menyodorkan semangkuk bubur. Untuk berapa kali di hari ini ia menahan tawa begitu melihat ekspresi jengah dari wajah datar itu. Rean yang biasa menjaga wibawa bahkan terlihat kaku di mana saja, sekarang bagi Gio, abangnya itu terlihat seperti manusia seutuhnya.

Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang