Prolog

9.6K 458 32
                                    

"Aku akan bertanya padamu sekali lagi, benarkah kau tidak minum-minum malam itu?"

Seorang pria melipat tangannya ke depan dada, memandang tajam tepat ke manik mata lawan bicaranya yang terlihat menelan air liur, begitu suara tenang tetapi tegas pria itu terdengar mengintimidasi dirinya.

"Begini, Tuan Benjamin, puteraku sebenar--"

"Aku sedang bertanya padanya, bukan pada Anda, Tuan," potong seseorang yang dipanggil Benjamin tadi dengan cepat. Ia paling tidak suka jika orang lain menyela pembicaraannya.

Ya, Benjamin Altarick Revano, seorang pengacara sekaligus CEO dari DMB Law Firm, salah satu firma hukum terkenal di Singapura. Pria berusia dua puluh delapan tahun itu sukses dikarir advokatnya. Ben dikenal masyarakat luas setelah memenangkan kasus penting di usianya yang masih tergolong sangat muda.

Berkat bantuan dari sang ayah, ia kini mampu membuka firma hukum yang tengah banyak disorot, karena mempekerjakan advokat-advokat handal yang juga sebagian besar sering memenangkan kasus, terutama kasus kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga banyak simpatisan yang mayoritas wanita, memuja-muja bahkan menyebarkan profil perusahaan mereka.

"Katakan sejujurnya, apa kau yakin kau tidak mabuk malam itu?" Ben mengulang pertanyaannya.

Sedetikpun Ia tidak mengalihkan tatapan mata dari sang pria berusia sekitar sembilan belas tahun yang wajahnya sudah nampak pucat pasi di hadapannya itu.

"Jawab saja sejujurnya," kata pria tua di sebelahnya. Ia adalah ayah dari terduga pelaku tersebut.

"Aku tidak mabuk," jawabnya gemetar.

"Apa kau yakin?" tekan Ben.

Si pria terdiam sejenak, setelah itu mengangguk pelan, membuat Ben menyeringai.

"Kalau begitu, aku tidak bisa menjadi pengacaramu," tukas Ben.

"Ada apa?" tanya sang ayah yang sejak awal penuh harap Ben akan menangani kasus anaknya.

"Tuan Lee, aku tidak bisa menerima kasusnya, karena aku tidak menyukai seorang pembohong," jelas Ben.

"Tapi puteraku sudah mengatakan yang sejujurnya, bahwa ia tidak mabuk malam itu."

Ben tidak menghiraukan ucapan Tuan Lee, ia mengambil sebuah tisu dari kantung jasnya, dan mengelap cangkir kopi yang ada di atas meja. Ben lalu mengambil cangkir itu dan menyeruput isinya sembari melirik anak Tuan Lee yang berkali-kali membasahi bibir, juga setetes air yang menetes di dahinya, menandakan bahwa ia tengah gugup,

"Tolong lap keringatmu, itu sangat menggangguku," pinta Ben.

Dengan segera Tuan Lee memberikan sapu tangannya pada sang putera lalu kembali menatap Ben dengan penuh harap.

"Bagaimana, Tuan Benjamin? Apakah Anda akan mempertimbangkannya?"

"Tidak," jawab Ben lugas.

"Aku akan membayar Anda lima kali lipat, jika Anda dapat memenangkan kasus ini," rayu Tuan Lee. Tetapi ucapannya sama sekali tidak mempengaruhi Ben.

"Maaf, aku rasa cukup sampai disini pertemuan kita, semoga Anda dan putera Anda mendapatkan pengacara lain secepatnya," pamit Ben bangkit dari sofa salah satu kamar hotel bintang lima, yang sengaja Tuan Lee pesan untuk membicarakan kasus anaknya.

Mendengar hal itu, dengan secepat kilat, si anak berdiri dan perlahan menangis. "Iya, benar, aku mabuk. Aku mabuk malam itu," akunya sesegukan.

Ben menghela napas. Ia menarik sesuatu dari dompetnya dan meletakkannya di atas meja dengan ujung jarinya. "Hubungi nomer ini, aku akan merekomendasikan salah satu pengacara terbaikku untuk meringankan hukumanmu," ucap Ben.

Eat YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang