BAB 13

35 17 10
                                    

Happy Reading 💗

-------

RASANYA janggal saat Rudi mendapati buku sketsa yang sudah ia anggap raib itu ada di laci mejanya. Sebelumnya Rudi sudah mengecek laci mejanya berkali-kali serta menanyai sohib-sohibnya. Bahkan Rudi bertanya pada beberapa CS, baik yang bertugas membersihkan kelasnya maupun yang bukan, barangkali di antara mereka ada yang menemukannya di suatu tempat. Namun, tak ada satu pun yang menemukannya. Kini, bukunya tiba-tiba kembali setelah lima hari tanpa keterangan.

Benaknya kaos oleh ratusan pertanyaan tentang siapa yang membawa bukunya, apakah dia orang yang ia kenal dekat atau bukan, apakah orang itu sudah melihat isi bukunya atau belum. Akan tetapi, yang paling membuatnya penasaran di antara semuanya, mengapa orang itu mengembalikannya tanpa penjelasan apa pun?

Menurut Rudi jawabannya hanya satu. Orang itu sedang merencanakan sesuatu. Jika seseorang itu sudah melihat keseluruhan isi bukunya, jelas ia telah mengetahui tentang perasaannya. Memikirkannya membuat Rudi marah sekaligus was-was.

Tepukan ringan di bahunya membangunkan Rudi dari pembicaraan dengan dirinya sendiri. "Lo mikirin apa?" tanya Ari.

Rudi tersenyum tipis sebelum membalas, "Bukan apa-apa," ia mengangkat buku sketsanya sekilas, "buku gue udah ketemu."

Alis milik Ari naik sebelah. "Di mana?"

"Laci," jawabnya lugas.

"Bukannya lo bilang udah ngecek laci lo berkali-kali?"

Rudi hanya mengedikkan bahu sekilas.

Ari tersenyum asimetris. Laki-laki itu mengubah posisi duduknya yang semula menghadap ke depan menjadi hadap ke samping, ke arah Rudi dengan punggung ia sandarkan pada tembok. "Keknya buku itu keramat banget, ya buat lo sampai lo niat banget nyarinya?" tanya Ari kasual.

Mata Rudi menyipit. Pertanyaan biasa. Ia bisa dengan mudah memelintir pertanyaan itu sebagai bentuk penghindaran atau memberi balasan pendek terus terang kemudian mengalihkan topik, hanya supaya pembahasan ini tidak diperpanjang. Ari sendiri tampak santai, seolah pertanyaan itu memang sesuatu yang wajar dipertanyakan mengingat bagaimana kacaunya Rudi saat buku itu hilang. Namun, mengapa ia merasa ganjil?

"Wah, gue baru denger berita ngaco." Doddy yang baru muncul bersuara dengan menggebu-gebu, mengalihkan fokus baik Rudi maupun Ari ke arahnya, "ini tentang mantan sekdis kita tercinta." Kala mengatakan ini, netra Dody melirik ke arah Rudi dengan senyum kecil terpahat di wajahnya. Berbeda dengan teman-temannya yang lain yang sudah berganti seragam olahraga, pemuda itu masih mengenakan seragam identitas sekolah seperti Rudi. Padahal bel masuk sebentar lagi berbunyi.

Dua orang di hadapan Dody, Iyan dan Ezra melirik sekilas ke arah Rudi yang juga tengah menatap ke meja mereka sebelum Iyan akhirnya bertanya, "Apaan apaan? Berita Rudi homo? Atau berita dia demen sama gue? Itu mah bukan ngaco, Dod, tapi fakta," sahut Iyan tak kalah menggebu-gebu.

Rudi geleng-geleng dengan sekilas senyum. "Gue lihat-lihat dari sini lo keliatan tambah ganteng, ya, Yan. Sampai rasanya pengen nimpuk lo pake PDH."

Iyan berdiri dan menghadap ke belakang tempat duduknya, persisnya ke arah Rudi dengan tangan berkacak pinggang. "Kenapa? Lo nggak terima udah gue tolak?"

"Et, et, et, stop. Gue mau denger dulu nih, berita dari seksi humas kita," lerai Radit dari tempat duduknya yang berseberangan dengan Rudi. Ia harus menghentikannya sebelum debat tidak penting dua orang gila ini merambah ke mana-mana. "Gimana, Dod?"

Dody bertepuk tangan satu kali sembari melanjutkan ceritanya, "Justru kalau itu beritanya gue nggak bakal bilang ngaco, Yan. Gue denger-denger di luar, Rudi punya pacar, Bruh. Cewek." Satu kata terakhir itu sengaja Dody tegaskan untuk mendramatisasi suasana.

Hide and SeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang