BAB 27 [B]

30 5 0
                                    

Happy Reading!💗

-------

RHEYYA tumbang.

Hari ini ia seharusnya turut serta dalam perayaan HUT RI dengan mengurusi berbagai macam lomba yang sudah direncanakan dari jauh hari. Namun, tubuhnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Seharian ini ia hanya tidur, sesekali bangun saat ibunya datang membawakannya obat atau buah. Ibunya pun akhirnya mengizinkannya ke pihak sekolah.

Malam ini ia sudah merasa lebih baik dan menelepon balik teman-temannya yang ia abaikan seharian ini. Ari juga meneleponnya beberapa kali serta mengirim pesan. Namun, tidak ada satu pun telepon atau pesan dari Rudi. Percakapan di telepon kemarin adalah percakapan terakhir mereka. Apa Rudi merasa marah karena ternyata selama ini Rheyya sudah tahu?

"Dia juga nggak masuk?" tanya Rheyya kaget.

"Iya, katanya sakit juga. Makanya gue heran lo berdua bolos barengan gue kira kawin lari. Enggak, ya ternyata?"

Rheyya memutar bola matanya. "Plis, Kak," komentarnya pendek sebelum meneruskan, "tapi beneran Rudi sakit?"

Ari berdehem sesaat untuk membersihkan tenggorokannya. "Katanya, tapi tadi gue ke rumahnya dia baik-baik aja, kok. Malah orangnya kelihatan lagi happy."

Jawaban aneh dari Ari kontan memunculkan kerut samar di dahi Rheyya. Ia jadi penasaran.

"Gue sebenernya mau sekalian mampir ke rumah lo, tapi karena lo ngotot nggak ngizinin yaudah, nggak jadi."

"Kak, gue tutup dulu."

"Jangan bilang mau nyamperin Rudi? Lo berdua beneran lagi ada masalah, ya?"

Rheyya tidak menjawab, hanya langsung menyudahi penggilan mereka dan bergegas bangkit dari tempat tidurnya. Gadis itu berjalan keluar sambil menyisir rambut panjangnya dengan jari. Sampai di lantai bawah, ibunya bertanya. "Mau ke mana, Rhe? Belum sembuh bener, lho udah pergi-pergi."

"Ke tempat Rudi, doang, Ma. Cuma sebentar." Sampai di depan pintu, Rheyya menyelesaikan dulu menyisir rambutnya, baru kemudian keluar.

"Pake jaket, Sayang, di luar dingin," teriakan Andin sudah tidak didengar oleh Rheyya. Wanita itu hanya bisa geleng-geleng. Sifat pemberontak dan sesukanya milik Rheyya itu pasti warisan dari ayahnya.

Begitu Rheyya keluar dari rumahnya angin malam menyambutnya, dingin sekali, sangat berbanding terbalik dengan udara kamarnya yang hangat. Kaus lengan panjangnya terlalu tipis untuk menghalau dingin. Apalagi demamnya juga belum sepenuhnya turun. Rheyya mengenakan sandal, lantas keluar dari teras rumahnya menuju ke pagar.

Tangannya yang bersiap membuka pagar langsung terhenti begitu melihat tamu yang juga baru tiba di depan pagar rumahnya. Laki-laki itu pun membeku sesaat sebelum tersenyum dan menghampirinya. Senyum yang rasanya sudah lama sekali tidak dilihatnya.

"Tahu aja Abang mau dateng, Neng. Gimana, Neng, satenya mau berapa tusuk? Jangan bilang seratus, ya, soalnya yang lain belum ditusukin."

Rheyya tersenyum lebar hingga gigi-giginya terlihat, ia geleng-geleng kepala melihat tingkah Rudi yang berpura-pura menjadi tukang sate langganan ibunya dengan memeragakan amplop entah apa yang dibawanya sebagai kipas sate. Rheyya memang biasanya diminta ibunya untuk mencegat tukang sate itu.

Senyum Rudi juga semakin lebar. Lelaki itu maju untuk menyentuh kening Rheyya dengan punggung tangannya. "Masih anget."

"Katanya, lo juga sakit, Rud? Udah sembuh?"

"Siapa bilang gue sakit? Ari?" Rudi malah balik bertanya hal lain.

Rheyya mengangguk-angguk. "Katanya hari ini lo juga nggak masuk sekolah karena sakit."

Hide and SeekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang