Happy Reading 💗
-------
SELAIN kamarnya, perpustakaan yang merangkap kamar kerja ayahnya adalah tempat di rumahnya yang paling sering ia datangi. Dulu ayahnya bisa menghabiskan waktu semalaman bekerja di ruangan itu atau hampir seharian ketika sedang libur. Kini Rheyya menggantikannya. Ia tidak rela ruangan yang penuh dengan buku-buku ini sampai menganggur.
Ayah Rheyya seorang jurnalis. Pekerjaannya itu pulalah yang merenggut nyawanya bertahun-tahun silam. Ayahnya orang yang menyukai tantangan. Bekerja di bawah terik matahari dan di antara gejolak konflik adalah makanan sehari-harinya. Menurutnya, meliput daerah-daerah konflik atau rawan bencana adalah pekerjaan yang harus siap diterima jurnalis manapun.
Aksa pernah berkali-kali hampir mati karena pekerjaannya. Ia pernah berhadapan dengan gempa susulan ketika harus meliput di daerah Sulawesi dan kembali tanpa ada lecet sedikit pun. Ia juga pernah hampir tertimpa longsor dari ketinggian lima meter jika terlambat sedetik saja untuk menghindar. Ia bahkan pernah dikirim untuk meliput wilayah yang dihuni golongan separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan berhasil pulang hidup-hidup, sambil tertawa-tawa menceritakan pengalaman menantangnya.
Yang paling lucu dari semuanya, ia melakukan semua itu tanpa memberi tahu keluarganya terlebih dulu. Rheyya selalu tiba-tiba menemukan wajah ayahnya di televisi. Surprise memanglah keahliannya. Ayahnya selalu berbohong. Selalu.
Selain menjadi reporter, Aksa juga bekerja sebagai jurnalis lepas di beberapa media cetak. Salah satu artikelnya yang berhasil diterbitkan menyenggol suatu kelompok. Hingga Aksa pun berakhir di sebuah gang sempit di Jakarta dengan lebam di sekujur tubuhnya. Rheyya tidak mengerti alasan ayahnya harus mati.
Umur Rheyya delapan tahun ketika ia melihat ibunya menyapa semua tamu yang hadir dengan berlinang air mata.
Pengabdi kemanusiaan? Bullshit. Bagi Rheyya, Damadyaksa Yama hanyalah lelaki idealis yang tidak bertanggung jawab, yang selalu pergi tanpa memberi kabar lantas tiba-tiba mati di sudut ibu kota. Namun, ironisnya ia juga lelaki yang ia cintai, lelaki yang ia idolakan.
Ah, Rheyya malah jadi melankolis. Intinya, Rheyya tak akan berakhir seperti ayahnya. Rheyya tidak butuh kematian heroik semacam itu.
Menelusuri lagi buku-buku ayahnya, Rheyya justru kembali dipaksa bernostalgia kala menemukan catatan lamanya terselip di antara buku-buku. Dulu Rheyya memang berlebihan. Ia mencatat setiap tanggal ketika Rudi tiba-tiba menghilang, yang sering terjadi semenjak kecelakaan yang menimpanya kurang lebih empat tahun lalu. Akan tetapi, lama-lama Rheyya lelah karena terus menghadapi kebuntuan. Polanya abstrak. Lantas Rheyya pun membuat kesimpulan paling mudah untuk dirinya sendiri.
Mungkin itu berkaitan dengan kecelakaannya waktu itu. Meskipun Rheyya sendiri ragu kaitan yang seperti apa.
Rheyya dikejutkan oleh suara langkah kaki mendekat. Tenang, ia selipkan kembali buku catatan barusan di tempat semula, lalu duduk bersila dan fokus pada pekerjaan awal. Pintu dibuka menampakkan wajah cengengesan Rudi. Di tangannya ada dua buku dengan dominasi sampul berwarna putih dan coklat.
"Di rumah gue ada banyak buku tentang psikologi. Dua ini yang paling nyambung sama topik lo. Kalau lo butuh referensi lain, ke tempat gue aja langsung." Laki-laki itu menaruh dua buku itu di atas meja yang ada di depan Rheyya lalu menjatuhkan dirinya di kursi panjang sebelah meja. "Lo udah tahu mau kasih judul apa?" tanyanya dengan kedua alis terangkat.
"Iyaps, karena gue ambil subtema insecurity. Judulnya, 'How to boost your confident' cerdas, 'kan?"
"Standar," komentar Rudi gamblang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hide and Seek
Teen Fiction"Emangnya ada orang di dunia ini yang hidup tanpa punya rahasia?" ----- Bagi Rheyya Pradangga yang mudah penasaran, memahami Rudi adalah pekerjaan paling sulit di dunia. Sekilas, Rudi adalah sahabat yang garing, slengean, dan narsis, tetapi di sisi...