Bagian Tiga

1.3K 53 6
                                    

Arina merasa terganggu saat mendengar suara gaduh di rumah kontrakannya. Seingatnya, bukankah hari ini akhir pekan? Bukankah harusnya ia memang boleh bangun agak siang? Lagi pula, siapa juga yang berkunjung ke kontrakannya? Ia juga ingat jelas bahwa tidak ada yang memegang kunci serep kontrakannya ini selain sang pemilik.

"Ini sekalian saja?"

"Iya. Kalau di situ nggak muat, masukan ke sini!"

"Eh yang itu jangan diletakkan seperti itu!"

"Bagaimana? Begini?"

"Iya."

Suara-suara itu bahkan terdengar sangat asing di gendang telinga Arina. Namun, terdengar sangat jelas seakan mereka sedang bicara di ruangan yang sama dengan tempat Arina saat ini.

Perlahan, Arina membuka matanya. Ia lihat dua wanita sedang mondar-mandir di kamarnya. Dengan alis mengernyit, Arina segera bangkit dan bersandar sambil menatap dua wanita itu.

"Kalian siapa?" tanya Arina dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.

Nyawa Arina terasa seperti belum terkumpul sepenuhnya. Ia bahkan belum sepenuhnya sadar dengan apa yang sedang dua wanita itu lakukan di kamar kontrakannya.

"Non Arina sudah bangun?" tanya salah satu dari mereka.

Arina semakin tidak mengerti. "Non apanya? Saya hanya Arina, tidak pakai 'Non'."

"Ah itu, saya-"

"Non Arina mau minum teh? Biar kami buatkan," ujar salah satu wanita yang lain.

"Hm, begini, Ibu. Saya Arina. Panggil saja saya langsung dengan nama Arina karena-"

"Kamu sudah bangun?" Pertanyaan itu membuat Arina sontak menoleh ke arah pintu kamarnya.

Kamar Arina hanya berukuran empat kali tiga. Terasa sangat sempit saat ada empat orang dewasa di dalamnya. Belum lagi barang-barang Arina tampak berantakan di lantai akibat ulah dua wanita asing di kamarnya.

"Anda kok bisa ada di sini? Bukannya semalam Anda... tunggu! Semalam Anda tidak pulang? Anda juga yang mengizinkan mereka masuk? Tapi kenapa?" Arina kehabisan kata-kata. Sepertinya kesadarannya sudah mulai kembali.

Arina memijat kepalanya yang mendadak pening. Dan hal itu disusul oleh gerakan pada ujung kasurnya yang menandakan jika ada seseorang yang baru saja duduk di sana.

Saat Arina mengangkat kepalanya, dua wanita yang tadi sedang mengemasi barangnya sudah menghilang. Menyisakan dia dan Jevin di kamar ini.

"Semalam Anda tidak pulang?" tanya Arina dengan nada putus asa.

"Tidak. Aku memang menginap di sini. Dan... ya. Aku yang menyuruh mereka semua datang untuk mengemasi barangmu. Kamu ingat, semalam kita telah membuat kesepakatan kalau kamu akan tinggal di apartemen saya," terang Jevin.

Arina menatap Jevin tak percaya. Ia tidak ingat kapan kesepakatan itu dibuat. Baiklah, Jevin memang mengajaknya tinggal bersama, tapi, kapan Arina menjawab?

"Tidak! Tidak! Saya tidak pernah bilang setuju. Saya-"

"Terlambat. Semua barangmu sudah dikemasi dan sekarang dalam proses pengiriman ke apartemen saya," potong Jevin.

"Saya ingat kalau belum membuat keputusan semalam. Dan tinggal bersama pria dewasa yang bukan kerabat saya? Yang benar saja?!"

"Kamu tetap akan pindah, Arina. Saya lebih suka jika kekasih saya tinggal bersama. Jadi saya lebih bisa menjaganya."

Arina menghela napas panjang, namun seketika ia tersentak saat menyadari sesuatu. Ia kembali menatap Jevin dengan tatapan tajam penuh protes.

"Kekasih? Sejak kapan kita-"

"Sejak semalam."

Arina mencoba mengingat-ingat kembali apa saja yang mereka bicarakan semalam.

"Saya juga belum menjawab itu, kan? Saya tidak-"

"Saya tidak lagi peduli dengan jawaban kamu. Yang jelas, sejak semalam dan seterusnya, kamu adalah kekasih saya."

Jevin bangkit berdiri kemudian mendekat ke arah Arina. Ia mencium puncak kepala wanita itu sekejap kemudian kembali menegakkan tubuhnya.

"Cepat bersihkan tubuhmu! Setelah ini kita akan langsung jalan, sekalian breakfast," ajak Jevin, lalu pergi.

Arina masih membeku di tempatnya. Ia masih terlalu sulit untuk mencerna semua ini. Kehidupannya beberapa hari yang lalu masih normal-normal saja. Semua berjalan sebagai mana mestinya. Namun, semua berubah sejak pertemuan pertamanya dengan Jevin di lift.

"Argh!"

Arina mengacak-acak rambutnya. Jika tahu kejadian itu adalah awal petaka bagi hidupnya, maka ia akan memilih untuk langsung resign pagi harinya. Tapi, sekarang semuanya sudah terlambat. Bagaimana juga ia bisa kabur kalau barang-barangnya sudah dibawa Jevin?

 Bagaimana juga ia bisa kabur kalau barang-barangnya sudah dibawa Jevin?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Spoiler Bagian 3 di KaryaKarsa.

Sudah terbit di Karyakarsa, pastinya part lebih panjang, dan harga terjangkau 🤭

My Boss's AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang