"Gue yang bakal mimpin perusahaan!"
Dikta yang berada di lantai bawah hanya bisa memejamkan mata, mengembus napas panjang. Tidak cukup tadi menghebohkan suasana rumah saat mencari Rean, sekarang setelah bertemu juga tidak kalah heboh seperti sebelumnya. Ya, tentu saja dengan gelombang yang berbeda.
Nanta yang merangkum catatan, menoleh sejenak ke arah lelaki berkacamata itu. "Bang."
Dikta mengangkat kedua alis, tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.
"Bang Gio sama Bang Rean berantem lagi?"
"Ya. Tom sama Jerry berantem lagi," jawab Dikta. Perumpamaan yang ia gunakan sungguh tepat. Kedua orang itu kerap kali bermusuhan layaknya di dalam kartun kucing dan tikus tersebut, tetapi ada kalanya pula saling memperhatikan satu sama lain meski dari kejauhan. "Itu dua orang memang nggak bisa dibiarin barengan lama-lama."
Sebagai jawaban, Nanta mengangguk menyetujui. Gadis itu meraih ponsel kembali begitu getaran notifikasi terasa.
Dikta memastikan suasana sekeliling sejenak, Gio yang keluar dari kamar Rean dan menuju dapur dengan langkah yang lebar. Suara westafel keran air terdengar, jika dugaan Dikta benar, adik laki-lakinya itu sedang mati-matian menahan dongkol. Entah apa yang diucapkan Rean, tapi kurang lebih Dikta bisa menebaknya.
Rean yang hobi berbicara seenakya, dan Gio yang mudah menerima ucapan miring seseorang secara mentah-mentah. Tidak heran, drama seperti ini seringkali ia hadapi.
"Dek," panggil Dikta bangkit, membuat Nanta yang berusaha kembali memancing fokusnya, menoleh. "Gue mau ke kamar Bang Rean. Lo nggak apa sendirian?"
Nanta mengangguk, tersenyum.
Tanpa persetujuan lagi, Dikta meniti anak tangga. Perlahan, ia membuka pintu kamar yang terlihat polos itu. Jika Nanta berhiaskan gantungan Home Sweet Home, Gio dengan tanda close dan open yang dapat diputar, lalu Dikta dengan stiker tanda warning dan police line, maka tidak ada satu pun tempelan di pintu kamar Rean.
"Re--" Panggilan Dikta terhenti sesaat, begitu memperhatikan si pemilik kamar yang kembali larut dalam mimpinya. Tenang? Dikta berjalan mendekat, memastikan raut wajah itu sejenak. Perlahan ia menyentuh dahi yang berada di antara kedua alis, tampak mengernyit. Suara lirihan samar-samar terdengar, dengan tangan yang terkepal erat.
"Maaf. Kadang-kadang lo memang perlu ada di situasi seperti ini, Bang."
***
Beberapa tahun yang lalu ....
"Dikta, makasih sudah bantu jaga rumah hari ini."
Dikta. Cowok berusia belasan tahun itu mengangguk pelan, tersenyum samar. Tidak ada hal lain yang ia lakukan sebenarnya selain mengajak Gio yang berusia delapan tahun itu bermain monopoli bersamanya. Menyeramkan, sesekali Dikta melirik pion apartemen milik Gio yang sudah ditempati di berbagai negara, meskipun pion si pemain kini berada di penjara akibat kartu kesempatan, tetapi selalu ada pemasukan dana ketika Dikta berhenti di wilayah.
"Bang Ta berhenti lagi di tempat Iyo! Cepat bayar!"
"Dikta," ulang Dikta, membenarkan pengucapan. Dengan setengah hati ia memberi beberapa lembar dolar mainan kepada adik laki-lakinya itu lalu menoleh kepada seseorang yang baru saja memasuki rumah. Rean, di hari ini resmi sudah ia tidak akan lagi melihat abangnya itu di sekolah. Selain jaraknya dengan Rean hanya dua tahun, maka sudah dipastikan saat ia akan menginjak di bangku kelas dua SMA, Rean pasti akan meninggalkannya.
"Bang Eyan!" panggil Gio, menyengir. Tanpa basa-basi, anak laki-laki itu langsung saja meninggalkan permainan dan menuju ke arah Rean yang tampak berusaha menyembunyikan keberadaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Teen FictionDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...