Beberapa hari sudah terlewati, Davira sudah tampak membaik dan berusaha melupakan semua masalahnya. Semenjak hari itu, tak pernah sekali pun dia kembali ke rumahnya. Percuma saja, tak akan ada yang peduli dan mencari. Toh, dia bukan anak yang diinginkan mereka, jadi untuk apa?
Kali ini, Davira memakai motor kebanggaan Leo untuk ia bawa jalan-jalan. Memutari Kota Bandung dan sekitarnya. Sebenarnya ia tak enak hati, memakai apa yang dimiliki Leo, tetapi lelaki itu terlalu baik. Bahkan, gadis itu diberi uang jajan. Entahlah, Davira sendiri pun tak terlalu mengenal Leo, bagaimana latar kehidupannya juga keadaan ekonominya.
Dilihat dari semenjak saling mengenal, sepertinya lelaki itu punya dan berasal dari keluarga kaya. Buktinya, sering sekali dia membelikan jatah makan pagi, siang, malam untuk mereka. Pun sekarang, Davira yang hanya butuh jalan-jalan diberi uang jajan. Leo berkata agar dirinya tak kelaparan.
Mata gadis itu terpana dengan jajanan yang begitu berjejer di pinggiran jalan. Banyak orang menjual buah-buahan, sate kelinci, dan hal lainnya. Membuat air liurnya turun. Uang yang diberikan Leo terlalu banyak, dia hanya akan memakainya sedikit lalu berniat mengembalikan lagi sisanya. Dia tahu mencari pekerjaan sekarang sangat sulit.
Menghentikan motornya lalu memesan satu porsi sate kelinci yang belum pernah ia coba selama ia hidup di kota ini. Harum menyerbak memenuhi rongga hidungnya, membuat perutnya malah keroncongan. Padahal, ia sudah makan siang. Sembari menunggu, dia berkeliling untuk membeli beberapa buah untuk ia bawa ke basecamp.
Tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia menatap ke depan, seseorang dengan jaket denim berdiri menghadap warung makan, Davira paham bentuk tubuhnya. Dia tersenyum dan mulai berjalan mendekat. Tangannya terangkat untuk menepuk pundak pria itu.
"Hai!" Reaksi orang yang ia tepuk rautnya tak biasa. Segera Daffin mengubah cepat-cepat wajah terkejut itu.
"Lo beli apa? Tumben sendirian, nggak sama temen-temen lo?" Daffin tak menjawab, dia mengeluarkan dompet dan membayar makanannya.
"Terima kasih, Teh," katanya lalu meninggalkan Davira yang masih terheran karena pertanyaan dan sapaannya tak menjawab jawaban.
"Sombong banget lo, baru beberapa hari juga. Lupa ya sama gue?" tanya Davira, seolah-olah mereka memang dekat. Sembari berjalan, dia tersenyum menatap punggung tegap nan tinggi itu. Dia menyukainya. Laki-laki tampan yang punya otot tangan, tetapi tertutupi oleh jaket denimnya.
Mengejar langkah Daffin yang cepat, ia segera mensejajarkan untuk berjalan di sampingnya. Pria itu melihatnya, dia mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi mengganggu, kenapa di saat seperti ini, selalu muncul gadis yang tak ingin ia lihat? Memang aneh.
"Muka lo kenapa?" tanyanya, membuat Davira gembira tak terhingga. Dia senang mendengarnya. Kapan lagi seorang Daffin Adhitama menanyakan pertanyaan yang seperti ini? Itu tandanya ia peduli, 'kan?
"Ini? Nggak apa-apa. Gue cuma berantem ama kucing kemaren. Lo lagi jalan-jalan atau emang lagi cari makan?" Tanpa menjawab, Daffin mengangkat kantung plastik berisi makanan di dalamnya. Membuat gadis itu menjawab tanpa suara, mulutnya membentuk huruf O sembari mengangguk-angguk.
"Tadi lo tanya itu, berarti lo peduli 'kan sama gue?" tanya Davira tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya.
"Jangan pede. Gue cuma penasaran aja muka lo kenapa," jawabnya membuat Davira mengangkat kedua bahunya.
"Bilang aja khawatir," sahut Davira, semakin membuat Daffin mendengkus kesal.
"Nggak."
"Iya, dong. Masa nggak? Cewek cantik kaya gue, masa lo nggak khawatir?" Kali ini langkah Daffin terhenti, begitu pun Davira. Pria itu menghadap ke arah di mana Davira berdiri, dia menatap dengan tajam.
"Kalo gue bilang nggak ya nggak. Paham lo?" Davira menggeleng dengan senyum mengejeknya.
"Menurut gue, nggaknya lo itu artinya iya. Dari tadi lo bilang nggak, berarti iya. Simple, 'kan. Hahaha …."
"Kalo gitu, iya. Puas lo?" Davira tertawa kali ini, suaranya begitu membahana, membuat beberapa pengunjung di rumah makan terheran melihatnya.
"Tuh, 'kan. Iya? Puas banget. Berarti lo peduli sama gue, Fin, suka deh," ucap Davira dengan tiba-tiba dia memeluk pria yang sama sekali tak siap dan terkejut. Hatinya berdegup dengan kencang, sama sekali tidak tahu kalau gadis itu akan mengambil sikap ini.
Bukannya senang, Daffin melepas paksa pelukan itu lalu menatap Davira dengan tatapan tak suka. "Gila ya lo?! Udah pergi sana, sial banget gue ketemu sama orang kaya lo. Lo ganggu tau, nggak?"
Davira diam saat mendengar itu. Dia menunduk, padahal tadi ia juga tidak sengaja, karena begitu senang mendengar Daffin hanya berbicara satu kata saja. Ia tidak bermaksud memeluknya, itu hanya refleks.
"So-sorry, Fin. Gua nggak sengaja," ujar Davira, hatinya merasa tak enak sekarang.
"Lo kira lo siapa? Kita deket? Nggak. Pergi lo jauh-jauh dari gue. Sial, dasar cewek gila." Setelah mengatakan kalimat itu, Daffin pergi meninggalkannya.
Davira merasa sakit hati mendengarnya, dia sungguh-sungguh tidak sengaja. Apa harus sebegitunya? Ia juga hanya reflek memeluknya sebentar, tak sampai lima menit. Apa harus semarah itu?
Gadis itu menatap kepergian Daffin, langkahnya benar-benar cepat. Sepertinya pria itu memang marah besar. Davira tak tahu harus apa, dia sudah meminta maaf tadi. Namun, sepertinya kurang. Besok, kalau mereka bertemu lagi, Davira akan meminta maaf, karena dia sungguh tak sengaja melakukannya.
Pria itu benar-benar pergi tanpa menoleh kembali, membuat Davira semakin berpikir bahwa yang ia lakukan adalah fatal. Dia kembali ke penjual sate, lalu meminta pesanannya dibungkus karena sudah jadi. Ia akan makan di basecamp saja. Kedua tangannya sudah dipenuhi dua kantung kresek, berisi buah-buahan juga sate kelinci.
Bergegas kembali dengan hati yang menjadi tak bahagia. Hatinya lagi-lagi berduka, sungguh awal pertemuan setelah sekian lama sangat mengesankan bagi Davira. Daffin menanyakan keadaan. Namun, ternyata perlakuannya tadi salah. Hingga membuat Daffin benar-benar marah dan pergi meninggalkannya.
Davira mengendari motor besar itu dengan tak fokus. Lajunya lambat, dia terpuruk lagi sekarang. Tak menyangka bahwa pertemuan ini malah membuatnya sakit hati. Kalimat yang dilontarkan Daffin begitu menusuk relung hati.
Mungkin benar, dia perempuan gila, seperti kata pria itu. Akan tetapi, apa harus ia mengatakan tepat di depannya dan kalimat selengkap, semenohok itu? Tidak bisakah ia simpan saja dan mengatakan di belakangnya? Setidaknya, Davira tidak mendengar. Agar yang ia tahu hanya Daffin bertanya tentang keadaannya. Itu saja.
Sesampainya di basecamp, tempat itu sepi. Teman-temannya belum kembali, dia juga tak melihat Leo dan Ghea. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi, tak ingin menunggu mereka yang entah datang kapan, dia segera mengambil piring dan menata makanannya.
Nafsu makannya sudah hilang, padahal ia lapar. Namun, tetap ia paksakan makan agar makanannya tak sia-sia. Lagipula, sate itu masih terlihat menggiurkan kok.
"Enak. Tapi hati gue rasanya lagi nggak enak, sakit lagi deh," lirih dia menatap sepuluh tusuk sate di hadapannya. Mengunyah perlahan tanpa melupakan kejadian yang ia lewati tadi. Sungguh menyesakkan dada. Tak menyangka bahwa Daffin bisa sebegitu kejam dan dengan mudahnya mengatakan kalimat menyakitkan.
----
Senin, 14 Maret 2022.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unacceptable Love
Random"Nih, makan. Buat lo, nggak mabok lagi lo?" "Lo nggak liat gue udah sadar?" ketusnya sembari memakan bubur pemberian pria itu. Unacceptable Love, cinta yang tidak dapat diterima. Nasib menyedihkan pada satu wanita yang begitu menginginkan kasih say...