"Lo berat amat sih jadi cewek, makan nasi atau makan drum aer lo,” cibir Daffin, dia terpaksa menggendongnya sambil berjalan, karena jarang ada kendaraan umum di sini, sambil menunggu beberapa menit juga untuk menghentikan taksi nanti.
Akhirnya, yang di tunggu pun tiba, dia menurunkan gadis yang tengah digendongnya perlahan. Taksi berhenti tepat di depan mereka, setelah bersusah payah membawa tubuh Davira masuk akhirnya Daffin bisa duduk tenang di dalam. Dia terus mengoceh tak jelas dengan mata tertutup. Bau dari alkohol begitu menyengat indera penciuman.
“Ini ke mana, Dik?” tanya supir itu, Daffin melihatnya lewat kaca spion. Mereka memang sudah naik taksi, tetapi bingung harus bagaimana. Jadi Daffin menjawab, “Ke gang Cemara, Pak. Nanti berhenti di depannya aja.” sopir itu mengangguk, lalu dirinya kembali menatap ke luar jendela. Malam makin larut, lelaki itu melirik arloji yang melingkar di pergelangan kiri, sudah pukul sebelas malam.
Tiba-tiba saja Daffin menoleh saat tangannya serasa dipegang, tidak, memang benar saja Davira tengah memeluk lengannya. Ck, Daffin berusaha melepaskan tangannya itu, tetapi yang ia dapat malah pelukannya semakin kencang. Jika dilihat, tubuh Davira tak begitu nampak kuat, tetapi mengapa tenaganya seolah-olah melebihi tenaga laki-laki?
“Istrinya ya, Dik? Pasangan muda kok sering ke club malam?” Yang tadinya hening tiba-tiba suara pak sopir itu menginterupsi. Daffin menggeleng cepat dan berkata, “Buk—”
“Gak baik, Dik. Apalagi membiarkan istrinya mabuk begitu, nanti 'kan yang nanggung dosanya juga kamu, karena kepala keluarga,” katanya lagi, Daffin mendengkus kesal, belum juga selesai berbicara. Jika dibayangkan Davira menjadi istrinya, seperti apa dirinya nanti? Hancurkah?
“Gang Cemara itu jarang ada yang tinggal di sana. Adik baru pindah ya sama istrinya? Hati-hati, banyak komunitas gak benar,” imbuhnya lagi. Daffin menggeleng frustasi, semua gara-gara gadis di sampingnya. Dia menatap Davira sebal.
Tiba-tiba suara yang kencang keluar dari mulut Davira. “Gak benar gimana, hah? Kami itu cuma senang-senang ….”
Daffin terkejut, dia melotot menatap Davira. Sama seperti sopir itu yang sama terkejutnya. Perasaannya mulai tak tenang karena, pandangan sopir itu mengheran setelah dia melihat dari kaca spion. “Maaf, Pak. Dia memang begini. Jangan diambil hati ya, Pak,” ujarnya pelan.
Sopir itu menggeleng, tak lama suaranya kembali terdengar. “Nah, 'kan, jangan diajak lagi ke tempat gak benar itu, Dik. Kasihan istrinya, untung kamu gak ikut mabuk.”
“Ya, Pak.” Karena malas menanggapi, Daffin menjawabnya singkat. Pelukan di lengan makin mengerat, menyebalkan. Ingin rasanya membuang jauh-jauh gadis ini kalau bisa, lihat, sudah berapa kali mereka bertemu? Tentunya bukan tidak sengaja, karena Daffin yakin Davira sendiri yang punya niat. Mungkin, hanya dua kali saja mereka bertemu secara kebetulan.
Lima belas menit, akhirnya mereka turun dan Daffin kembali menggendong Davira, tubuh itu begitu berat dan lemas. Setelah selesai membayar dia berjalan menuju di mana tempat tinggalnya yang tadi sore sempat Daffin datangi.
Tak butuh waktu lama, mereka sudah berada di depan rumahnya. Ada yang aneh, karena rumah itu gelap, seperti tak berpenghuni. Kosong. Ke mana teman-temannya?Daffin ingat, Davira hanya datang sendiri saat menemukannya di club tadi. Namun, bukankah sebelumnya mereka berada di kafe dan berombongan? Ke mana mereka semua? Daffin kira di sini akan ada teman-temannya, ternyata tidak. Dasar, gadis merepotkan.
Ini makin larut dan dia bingung harus melakukan apa lagi. Rumah itu kosong dan terkunci, sedangkan Davira tak sama sekali membawa tas untuk sekadar membawa gawai ataupun uang. Padahal, keduanya sangat dibutuhkan di saat-saat seperti ini. Sayangnya, gadis itu sama sekali tidak biasa.
Tanpa pikir panjang, Daffin membawa tubuh itu ke dalam gendongan lagi. Butuh waktu sepuluh sampai lima belas menit untuk sampai di kost-an tempat Daffin tinggal. Untuk pertama kalinya, dia membawa perempuan asing ke kamarnya. Daffin berhenti sebentar, lelah menggendongnya sejauh ini. Dia menatap wajah lelah itu dan kembali teringat tentang kejadian petang tadi.
Davira tadi benar sedang balapan, apakah kaki dan tangannya baik-baik saja? Ataukah, itu semua pura-pura dan gadis itu sengaja membodohinya? Daffin menggeleng frustasi, tak memikirkannya sejauh ini. Dia benar-benar tidak menyangka. Dengan berat hati, dia kembali menggendong tubuh gadis itu.
Dia berjalan sedikit cepat walau agak berat hingga sampai ke depan kost di mana Daffin menetap. Kost ini hanya menyediakan sepuluh kamar, khusus pria. Sepertinya mereka sudah tidur dan istirahat, sang pemilik kost tak jauh dari sini tempatnya, jadi dia membuka pintu gerbang dan masuk ke kamar. Membaringkan tubuh mabuk itu perlahan, lalu dia kembali keluar dan mengunci pintu. Segera menghubungi bu Intan, pemilik kost. Lima kali panggilan berdering hingga ke-enam baru diangkat dengan sang empunya.
“Halo? Kenapa, Fin?” Suara ibu itu memulai duluan.
“Bu, buka pintu rumahnya saya mau minta izin,” kata Daffin, hening sebentar lalu dia kembali menjawab, “Izin apa? Ya sudah saya turun.” Rumahnya bertingkat, makanya dia berkata seperti itu. Daffin sudah berdiri di depan rumah bu Intan sejak dua menit lalu.
Kini Daffin sudah berada di dalam rumahnya, ada Pak Toni juga, suaminya. Mereka melirik jam dinding yang berada di tengah ruangan itu. Baru kali ini mereka mendengar bahwa seseorang sedang meminta izin, karena kamarnya akan dipakai oleh seorang perempuan. Padahal, kost-an mereka tempat khusus pria.
“Lah … jadi di kamarmu sekarang ada perempuan? Gimana bisa?” Daffin mengangguk, dia menggaruk leher yang sebenarnya tak gatal.
“Ya begitu, Pak. Jadi bagaimana? Saya gak ngapa-ngapain sama dia, lagian dia sudah tidur, Pak,” jelasnya lagi. Mendapat raut tak enak dari sang kedua pemilik Daffin merasa kaku.
“Tidak bisa, sebaiknya dibawa pulang,” kata Pak Toni, Daffin menunduk lalu mendongkak. Dia berusaha untuk menjelaskan secara detail lagi.
“Saya sebenarnya tidak tahu dia, Pak. Maka dari itu saya membawanya ke sini, bingung karena dia pingsan, Pak,” ujarnya dengan memelas, entahlah. Daffin bisa berubah delapan puluh persen hanya untuk orang asing, bahkan dia rela meminta izin dan ditanggapi curiga oleh orang lain karena satu orang saja. Kenapa sekarang dia jadi rela berkorban dan memohon seperti ini?
“Baiklah, dia tidur di kamarmu, tetapi kamu tidur di kamar Andi, bagaimana?” timpal Bu Intan, Daffin mengangguk pasrah. Ya sudah, ini keputusan yang bagus dan baik juga kok. Dia tidak sekamar dan Davira mendapat tempat yang aman. Ya, walaupun Daffin sendiri tak percaya apakah tempat tinggalnya aman atau tidak. Hanya untuk malam ini saja, untuk seterusnya tidak akan lagi.
Daffin kembali ke kamarnya bersama dengan Pak Toni yang mengikuti, dia takut penghuni kamar kost-nya berbuat macam-macam, maka dari itu dia bersikap yang baik dan benar. Memastikan apakah Daffin melakukan apa yang dikatakannya tadi atau tidak. Sebelum ke kamar Andi, teman kamar sebelahnya, Daffin menulis surat dan meletakkan di samping tubuh Davira. Berharap besok pagi ia membaca dan tidak terkejut mengapa ia di sini. Dia menatap wajah dan bulu mata lentiknya sebentar saat akan menaruh surat di sebelahnya. Manis.
“Makanya, jadi orang jangan ngerepotin, susah 'kan lo. Night,” bisiknya sedikit menjauh. Daffib tersenyum kecil, percuma dia tidak akan dengar juga.
----
Selasa, 08 Maret 2022.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unacceptable Love
Random"Nih, makan. Buat lo, nggak mabok lagi lo?" "Lo nggak liat gue udah sadar?" ketusnya sembari memakan bubur pemberian pria itu. Unacceptable Love, cinta yang tidak dapat diterima. Nasib menyedihkan pada satu wanita yang begitu menginginkan kasih say...