(2) Tidak Suka

541 29 7
                                    

Happy readingg!

***

“Mau lo apain tas gue? Balikin!” Perempuan satu ini benar-benar tidak tahu sopan santun. Ketika Daffin jalan dari kost dan sampai di dekat gang tempat gadis itu menongkrong, tiba-tiba saja tasnya direbut.

Daffin melihat tasnya dibuka dan gadis itu mengeluarkan isi tas lalu menumpahkan semuanya. Seketika membuat pria berjaket biru navy itu menggeram marah. “Lo?! Apaan sih? Gak punya sopan santun lo ya jadi cewek? Maksud lo apa, hah?!” Dirasa ini cukup membuat hati gadis itu sedikit tergertak, tetapi wajahnya malah menampilkan senyum mengejek. Tak merasa bersalah sedikit pun.

“Ck, ck, ck! Udah gede, tapi bawaannya masih buku dan apaan nih?” Dia mengeluarkan dompet yang berisi barang berharga di sana. Seketika saja Daffin menarik tasnya kencang dan tiba-tiba tangannya ditahan.

“Apaan, sih! Lepas!” katanya, mata pria itu menatap tajam.

“Gaes! Tahan.” Tak lama, segerombolan teman-teman gadis itu datang dengan pakaian yang benar-benar mirip preman. Daffin tak habis pikir, mereka ini masih muda. Akan tetapi, kenapa mereka jadi tidak benar? Apa sama sekali tidak memikirkan masa depan?

Oh, sialan. Rupanya dia main keroyokan, dia menyuruh temannya untuk menahan Daffin lebih kencang. Tentu saja pria itu memberontak agar tangannya terlepas. Namun, bukannya dilepas malah semakin diperkuat.

“Daffin Adhitama? Umur dua puluh tahun. Tua juga lo, ya,” ujarnya masih dengan teliti melihat semua barang yang dibawa pria yang masih ditahan itu. Jiwa memberontak keluar begitu saja, Daffin menendang mereka semua hingga terdengar ringisan yang tak perlu dihiraukan. Kesabarannya sudah habis, semua barang privasinya dijatuhkan begitu saja. Benar-benar tak tahu malu.

“Mau buat onar di sini?” Seketika mata dengan lensa cokelat itu menoleh, lalu keningnya mengerut. Sorot mata Daffin benar-benar tajam.

“Lo nantang?” Dia menaikkan alisnya, ck! Gadis seperti itu harus diberi pelajaran memang. Tapi tidak mungkin, Daffin seorang pria. Mana mungkin ia menghajar perempuan? Di mana harga dirinya? Dia bukan pecundang.

“Beresin semua barang gue, gak sekarang. Gue ada kelas,” ketusnya. Dia tertawa bersama temannya, meremehkan. Lalu tak lama, pria yang sedikit tua dari gadis itu berdecih. Menatap dengan pandangan tak biasa.

“Penakut lo! Cari gara-gara, padahal gue 'kan cuma ngeliatin isi tas lo dan pingin tahu nama lo, gak usah ge-er, deh!”

Kalau tidak karena waktu mepet, bukan Daffin namanya jika membiarkan gadis seperti ini maju begitu saja. Dia memungut semua barang yang ditumpahkan olehnya, lalu dengan mudah meleparnya ke arah Daffin. Tepat mengenai dadanya, untung saja tangannya sigap menangkap.

“Udah pergi sono! Gak punya urusan lagi gue, tapi gue mohon semoga ketemu lo lagi,” katanya dengan melipat tangan di dada lalu mulai pergi menjauh bersama kelompok preman nan sialan itu.

“Hh!” Daffin membuang napasnya kasar. Menatap kepergian mereka dengan raut wajah benar-benar tak suka.

Ini hari ketiga mereka bertemu. Andai saja Daffin tidak memilih jalan itu maka tidak akan terjadi hal-hal seperti ini. Bagaimana tidak? Hanya jalan ini yang bisa membuat pria itu sampai ke kampus tepat waktu tanpa perlu memakai kendaraan untuk sampai di universitas. Karena pada dasarnya, Daffin memilih tempat tinggal yang dekat dengan kampusnya. Namun, hal ini bukannya mempermudah malah membuat dirinya berada dalam keadaan selalu mencekam.

Ya, seorang Daffin Adhitama tak mungkin jika selalu bangun lebih awal, itu mengapa dia memilih melewati jalan di mana mereka sudah berkumpul. Lima belas menit, waktu yang hampir terbuang untuk masuk kelas pagi ini. Tak ada kendaraan yang bisa dibawa Daffin. Bundanya mengajarkan untuk menjadi anak yang mandiri. Karena kuliah ini membuat Daffin sibuk dan lupa dengan hal lainnya, ya semacam bermain bebas.

“Dari mana aja, Fin? Tumben, capek jalan ya lo?” Suara menyebalkan yang setiap kali bertemu selalu terdengar. Siapa lagi kalau bukan Bagas dan Dewa. Ya, mereka selalu bersama di mana pun, begitu juga dengannya. Ck, tak lebih pintar dari seorang Daffin.

“Eh, Fin. Lo udah ngerjain tugas?” Memutar bola mata malas, sejak kapan Daffin tidak pernah mengerjakan tugas?Jawabannya sejak kuliah saja, karena sebelumnya memang tak pernah mengerjakan tugas.

“Boleh dong ya, tek-nyontek.” Daffin menatap mata mereka yang juga menatapnya. Seketika pria itu bergidik ketika melihat mata kedua temannya yang berkedip-kedip, macam wanita yang sedang jatuh cinta pada pria. Hih.

“Ogah! Kerjain sendiri.”

“Dih, buset. Kejam amat lo sama temen sendiri, sini gue liat!” Bukan Bagas dan Dewa namanya, jika tak berhasil merampas apa maunya.

“Ini, ini, ini, ini, ini, ini … nah, ini juga, oh good-good. Wait, mantap, beuh gile. Daffin mah beda, yak. Satu lagi, okey selesai.”

“Ck, ck, ck! Gak sia-sia gue punya temen kaya lo gitu, Fin. Sumpah, pinter jadinya gue, hahaha ….” Tawa mereka lepas, pintar apanya? Apa menyontek itu pintar? Menurut Daffin tidak, karena pelajaran yang diterangkan mereka sia-siakan makanya menyontek adalah hal pertama yang mereka lakukan. Biarkan saja, toh mereka susah sendiri saat kelulusan nanti.

“Ribet lo!”

“Yee … lo juga ribet, buktinya masih tuh ngeliatin tulisan Daffin.” Mereka tak peduli bagaimana dengan tulisan yang acak-acakan, yang penting semua tugas terjawab. Secepat itu, tak mungkin tulisan akan menjadi rapi.

“Woi! Malah diem aja … mau gue beliin kopi, kagak?” Menggeleng, hanya itu jawaban Daffin. Karena dirinya sudah sama sekali tak ada selera.

“Eit … tumbenan amat. Eh, bener ding, hari ini kebanyakan tumbenan nih si Daffin,” kata Dewa sambil memamerkan lesung pipi yang tak dimiliki oleh mereka, maksudnya, Daffin dan Bagas. Dia bisa dikatakan lelaki cantik, kalau saja tidak ada gaya cool yang selalu ia pamerkan. Aneh, bukan?

Tak lama kelas dimulai. Mereka mulai masuk kelas masing-masing dan mengikuti pelajaran. Tapi tiba-tiba, Daffin tidak fokus dan malah memikirkan hal lain. Bolpoin yang sedari tadi ia genggam tak sama sekali menulis satu kata pun. Dia memikirkan apakah nanti ia harus lewat jalan penuh dengan setan itu? Atau menebeng ke Bagas atau Dewa untuk mengantarkannya? Daffin sudah malas jika harus bertemu dengan gadis tengil itu.

Hancur sudah kedamaiannya hanya dalam beberapa hari ulah gadis itu. Tak sama sekali terpikirkan oleh Daffin bahwa hal seperti ini akan terjadi padanya. Bahkan, dalam kamus hidupnya dia sama sekali tidak menginginkan kejadian-kejadian bersama para preman. Benar-benar berbanding terbalik dengan kehidupannya yang tenang-tenang saja. Sungguh, sampai sekarang dia memikirkan, apa sebenarnya keinginan gadis itu? Kenapa selalu mengganggunya?

-----
Gaiss, jangan lupa mampir di ig aku yaaa @florine_0706 have a nice dayy!

Rabu, 02 Maret 2022.

Unacceptable Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang