1. the place for die

2.8K 439 102
                                    

Dunia berotasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dunia berotasi. Dan ada kalanya putaran itu berhenti untuk satu orang. Tidak ada lagi pagi. Dan tidak ada lagi waktu untuk menepati janji.
•·················•·················•

Di antara semua harapan yang pecah berserakan menjadi banyak bagian, aku mengambil satu kepingan kecil yang kugunakan untuk tetap bertahan hidup.

Kusingkirkan semua harapan lainnya dengan berat hati. Karena ketika kau diberitahu bahwa hidupmu tidak akan lama lagi, maka kau akan menyerah pada banyak hal. Kau akan menyerah pada koleksi foto idolamu, pada kisah asmaramu, dan pada profesi impianmu di masa depan.

Aku menyerahkan semua Jersey club bola kesayanganku kepada seorang tetangga, aku juga tidak ingin repot-repot menyukai seorang gadis atau bahkan menambah kenalan. Aku berupaya keras mengubur impianku untuk menjadi seorang pengusaha di bidang fashion. Aku menghilangkan semua keinginan itu dari otakku, karena aku tau aku akan mati sebelum mencapainya.

Hanya tersisa satu keinginan yang masih mungkin diwujudkan; aku ingin memilih sendiri tempatku untuk mati.

"Sepertinya kau salah. Hospice ini bukan tempat untuk mati," ujar wanita paruh baya selaku manajer hospice usai mendengar alasanku datang kemari. Kudengar, orang-orang memanggilnya manajer Jung.

Ibu dan ayah ada di samping kiri dan kananku. Di hadapan mereka terdapat gelas yang belum diminum sama sekali. Bau teh hijau tak meningkatkan keinginan mereka untuk meneguk benda cair itu. Setelah perdebatan dengan mereka kemarin malam soal keputusanku yang ingin tinggal di hospice, akhirnya mereka membawaku kemari. Aku menggunakan kekuatan orang sekarat; di mana tak ada yang bisa memarahiku atau melarangku atas keinginan sekonyol apapun yang keluar dari bibirku. Kupikir, ternyata ada untungnya juga.

Wanita paruh baya di depan tersenyum hangat. "Di sini adalah tempat untuk menjadi hidup, sebelum kau pergi."

Aku kurang tau bedanya di mana. Aku hanya ingin meninggal di tempat yang jauh dari kota. Tempat yang senyap dan hangat. Tempat ini mirip dengan bayangan fantasiku waktu kecil. Kastil yang di susun dengan bata, dikelilingi pohon rindang yang berjejer rapi, dan taman bunga yang mengelilingi pekarangannya. Meski bangunan ini bukan kastil seperti yang kubayangkan waktu kecil, setidaknya bentuknya mirip. Aku ingin hidupku berakhir di tempat ini.

---

Aku berjalan-jalan mengitari halaman depan yang penuh dengan bunga. Beberapa orang melirik ke-arahku. Mungkin cara berpakaianku memang agak menarik perhatian. Blazer hitam dengan sentuhan rantai di bagian dada, serta kacamata dengan lensa jingga yang ku kaitkan di kepala. Satu hal yang kubanggakan dari diriku adalah cara berpakaianku dan bagaimana aku percaya diri ketika menggunakannya tidak peduli seberapa noraknya wujudku di mata orang lain.

Toh, aku sebentar lagi mati.

Bruk!

Seseorang menabrakku sampai kacamataku jatuh ke lantai. Orang yang menabrak tersebut membungkuk-bungkukkan badannya meminta maaf. Ketika aku berjongkok mengambil kacamataku, aku tak sengaja melihat matanya yang memerah. Wajahnya pun begitu sembab. Aku tipe orang yang begitu lunak, jadi aku langsung merasa tidak enak hati.

if you could see the wind ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang