Kenangan

18 1 0
                                    

"Kakak, apa kakak tahu nama bintang yang di sebelah sana?"

"Hmm, tidak tahu. Memangnya apa itu?"

"Itu namanya Antares. Itu bintang kesukaan Kisa. Antares juga terkenal karena itu adalah bintang yang paling terang di rasi Scorpio."

"Hehh, Kisa tahu banyak ya. Apa Kisa ingin jadi Astrolog saat besar? Atau astronot?"

"Tidak, Kisa hanya suka bintang karena kakak yang beritahu."

"Hahaha, begitu ya. Tapi kakak juga hanya tahu tentang rasi besar segitiga musim panas."

"Tidak apa – apa, Aku suka dengar Kakak bercerita. Saat besar Kisa ingin menjadi seperti Kakak, pintar, baik, pandai olahraga, juga punya banyak teman, kakak seperti pahlawan!"

"Haha, terima kasih. Tapi Kisa jangan jadi seperti Kakak."

"Kenapa? Kakak kan hebat?"

"Jika Kisa jadi kakak, nanti Kisa tidak akan pintar dalam hal bintang lagi. Kakak suka Kisa yang menyukai bintang, mungkin saja saat besar nanti Kisa benar – benar bisa menjadi astrolog."

"Kalau begitu, saat besar pun ayo lihat bintang bersama lagi. Janji ya?"

"Iya, kakak janji. Lain kali ayo ajak Alan dan yang lainnya juga."

"Iya!"

Sambil berbaring di padang rumput, mengarahkan telunjuk ke sungai bintang di ujung antariksa, kami mengaitkan jari kelingking. Jari Kisa sangat ramping, bagaikan helai rumput yang bergoyang tertiup angin. Malam hari, wangi embun membungkus kami di tengah – tengah lautan rumput yang membentang dibawah langit hitam yang di hiasi permata bintang. Bersamaan dengan jari kelingking yang bersentuhan, kami mengucapkan janji dengan senyum yang penuh harapan.

Tetapi, hari yang dijanjikan itu sudah tidak akan pernah datang.

"Mmmhhh... Sudah subuh ya?" Aku membuka mataku perlahan.

Pukul lima pagi. Waktunya bangun. Aku membuka jendela kamarku, hawa dingin subuh menerobos masuk melalui sela jendelaku. Aku segera mencuci muka ke kamar mandi dan mengganti pakaian ku dengan pakaian olahraga. Saatnya latihan rutin. Aku memakai sepatuku di pintu depan dan bersiap jogging sampai matahari terbit. Aku selalu melewati rute yang sama, melewati taman aku berlari mengikuti jalur yang dibawa pinggiran sungai sepanjang lima kilometer dan berbalik lagi menuju rumah. Setelah pulang kerumah, aku membuat sarapan pukul setengah tujuh pagi. Sedikit telat karena hari ini adalah hari sabtu, dengan kata lain libur.

Setelah selesai menghidangkan makanan di meja makanan. Seolah sudah memperhitungkannya, ayah masuk dengan Koran berita hari ini di tangan kirinya. Kami hanya menyantap makanan dalam diam.

"Ayah ada rapat hari ini, mungkin akan pulang telat."

"Baiklah."

Dari pembicaraan itu aku tahu, ayah mencoba mengatakan "Tidak perlu membuat makan malam untukku."

Setelah menghabiskan makanan kami, aku mencuci piring yang sudah digunakan di wastafel dapur agar tidak menumpuk. Aku kembali kembali ke kamarku pukul 7 dan menghabiskan waktu dengan seadanya. Membaca novel, menonton film, mengerjakan tugas, mendengarkan musik. Seperti biasa, hari liburku dipenuhi dengan ketenangan, aku tidak membenci gaya hidup seperti ini, tetapi aku juga tidak menyukainya.

Tanpa aku sadari, jam digital yang duduk di atas rak tempat tidurku menunjukkan pukul 12 siang. Aku beranjak dari tempat tidurku untuk membuat makan siang. Menuruni satu persatu anak tangga dari lantai dua, aku menuju dapur. Saat membuka kulkas hawa dingin menghantam wajahku yang maju menatap isi didalamnya.

Canary without a VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang