5| a suicidal thought

843 334 164
                                    

🔉 now playing
Till death frees me - Zevia

[.]

Orang-orang yang ingin mati, sebetulnya tak benar-benar ingin mati. Mereka hanya tak ingin merasakan perasaan sakit apa pun lagi.

Beberapa waktu lalu, Haidar pernah hampir melakukannya.

Haidar tidak peduli mau seberapa banyak orang yang tak ingin berdekatan dengan dirinya karena skandal pembunuhan itu. Haidar tidak ingin mati karena orang-orang takut kepadanya. Haidar ingin mati agar semua orang percaya bahwa benar ia pelakunya.

Karena ia tidak ingin ibunya yang masuk penjara.

Malam itu, agaknya kurang dari seminggu lalu, Haidar ingin menghabisi dirinya sendiri di atas gedung sekolah lama mereka. Seharusnya ia sudah mati hari itu, jika saja Arjuna tidak pernah muncul menghentikannya.

"Apa setelah lo mati, kebenaran juga ikut terkubur bersama raga lo yang nantinya melebur bersama tanah? Apa lo yakin, dengan memilih mati adalah jalan terbaik untuk kebaikan lo dan ibu lo sendiri?"

Haidar ingat. Masih ingat sekali.

Diantara semua manusia yang begitu percaya bahwa benar ia yang telah membunuh ayahnya sendiri, Arjuna satu-satunya orang yang tidak percaya. Arjuna menyadarkannya bahwa mati bukanlah jalan terbaik yang bisa dilakukannya. Arjuna menjadi satu-satunya orang yang mau mendengarkannya selama ia hidup selain ibunya.

"Apa yang bikin lo percaya kalo gue nggak mungkin bunuh bokap gue sendiri?"

Itu adalah pertanyaan yang begitu Haidar ingin dengar jawabannya. Arjuna justru mengedikkan bahu sekilas, menoleh kepadanya. Memberikan jawaban paling jujur yang bisa ia lihat dari sorot mata itu.

"Mata lo menyimpan begitu banyak kepedihan. Apa pun pengakuan lo, lo pasti punya alasan kenapa memilih melakukan itu. Dan gue yakin kalau lo bener-bener punya alasannya."

Arjuna kemudian menyandarkan kepalanya pada dinding, duduk menukik lutut sembari memeluknya. "Lo... pasti udah begitu banyak melewati masa-masa sulit. Ayah lo mungkin udah terlampau banyak menyakiti lo dan ibu lo ya?"

Haidar menoleh. "Tahu dari mana?"

Arjuna menyengir kecil, sembari menggaruk telinga. "Gue sering dengar dari orang. Katanya, ayah lo sering mukul lo dan ibu lo."

"Lo percaya?"

Arjuna melihatnya. "Mungkin? Karena gue juga selalu perhatiin, lo selalu menyorotkan begitu banyak kebencian setiap hari ayah. Sekali pun orang bilang, lo selalu aja buat onar, berantem sana-sini. Gue pikir, lo mungkin ngelakuin itu buat nutupin luka-luka dari ayah lo seperti ini." Arjuna menunjuk bekas memar di tengkuk lelaki itu.

Haidar mendengus kecil. Manggut-manggut, membenarkan terkaannya. "Gue benci Ayah gue. Dia selalu mukul Ibu. Dia mukulin nyokap gue."

Haidar menggelengkan kepala. "Gue nggak bisa terus-terusan lihat Ibu gue nangis karena pukulan-pukulan itu. Gue mau Ibu gue berhenti menderita."

"Jadi hari itu, gue pukul tengkuk Ayah pakai vas saat dia cekik Ibu. Ayah marah, beralih cekik gue. Sampai akhirnya—" Haidar memejamkan mata, seketika membawanya kembali ke memori beberapa hari lalu. "Ibu refleks nusuk Ayah pakai pisau beberapa kali untuk menyelamatkan gue."

"Mungkin itu alasan kenapa lo masih bisa sekolah sampai hari ini."

Haidar refleks tertawa kecil. Ia menggelengkan kepala. "Kasusnya masih diperiksa. Polisi nggak langsung percaya kalau gue pembunuhnya. Tetap bakal ada sidang nantinya."

Enervate ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang