i

192 13 1
                                    


-Prolog-



"Kak!"

"Hm."

"Gimana nih, aku suka sama kakak."

"Tapi ... Kakak juga suka kamu."











































































































































•••
Suasana di ruang makan mendadak hening mencekam setelah pria bertubuh tegak itu berujar dengan seriusnya.

"Ayah mau menikah lagi?"

Gadis dengan rambut coklat dan hidung mancung itu menatap sendu ke arah sang ayah. Ia tidak menyangka, baru juga dua bulan ibunya pergi, ayahnya sudah punya wanita pengganti.

"Ayah mau kami tersiksa karena punya ibu tiri?" Tergambar raut kecewa pada wajah gadis yang lebih muda saat menatap pria berumur di depannya.

"Bukan begitu sayang. Ibu baru kalian baik kok," bujuk sang kepala keluarga, berharap.

Semuanya diam. Kecewa, kesal, dan marah menghiasi ekspresi ketiga remaja yang berstatus sebagai anak kandung tuan Himalaya. Bayangan ibu tiri yang kejam mulai melayang-layang di pikiran mereka.

"Aku selesai." Satu-satunya anak lelaki tuan Himalaya itu meninggalkan ruang makan dengan piring yang belum tersentuh. Bahkan sendok dan garpunya pun masih tersimpan rapi di pinggir piring. Dia pergi dengan rasa sesak dan tangisan yang tertahan.

Setelah menahan tangis cukup lama, pertahanan si bungsu pun runtuh ketika kakak laki-lakinya meninggalkan ruang makan. Dia pergi menyusul dengan wajah yang berderai air mata.

Sang kakak tertua menatap kedua adiknya nanar. Ia menoleh melirik sang ayah yang terdiam tak bergeming di kursi makan.

"Aku harap ayah tidak salah mengambil keputusan." Ia melangkah pergi meninggalkan pria kekar yang berstatus sebagai ayahnya itu sendirian.

Tanpa sadar, pria berumur itu meremas sendok logamnya.

"Hish ..."

"Jadi?"

Abhiya berdecak pelan. Ketiga sahabatnya ini memang perlu dijelaskan ratusan kali supaya paham. Melihatnya yang malah meminum jus dan memasang wajah tanpa dosa menjadi emosi tersendiri bagi Abhiya.

"Astaga kalian, fokus dong!" Hikara tersedak mendengar Abhiya sedikit berteriak dengan ekspresi kesal.

"Uhuk—iya maaf."

Abhiya nampak bergelut dengan pikirannya, sementara Hikara, Syantia, dan Yujiya malah diam menatap gadis berambut blonde di depannya ini untuk menunggunya berbicara.

Sadar ditatap lama, Abhiya mengangkat alis saat Hikara menyipitkan mata mendekatinya. "Ada apa?"

"Ulangin dong, tadi aku memang nggak terlalu fokus denger," pintanya dengan wajah polos yang membuat emosi Abhiya kembali.

"Enyah kau, Hikara!"

Yujiya menahan tubuh Abhiya untuk tidak menghajar gadis yang kerap dipanggil Hikara itu.

"Mohon bersabar, ini ujian," celetuk gadis jangkung di sebelah Hikara. Syantia.

"Terima aja, siapa tahu beneran baik."

ANY • MORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang