v

40 7 1
                                    


-Info Mengejutkan-


Setelah mobil yang membawa Abhiya pulang meninggalkan lingkungan sekolah, Yujiya teringat satu hal. Dia berjalan mendekati Seanu yang sedang sibuk dengan benda pipih pintar di tangannya.

"Seanu," panggilnya.

Lelaki berambut merah muda bak gulali itu menoleh dan mengangkat alis, memberi kode 'apa'.

Dengan mantap dan tegas Yujiya berujar, "Jelasin yang tadi."

"Yang tadi apa?" bingung Seanu sambil menyimpan ponselnya di saku celana. Dia menatap heran teman sekelasnya tersebut.

Yujiya mendengus kasar. "Ih, itu loh waktu kejadian di kantin," kesalnya.

Dia benar-benar penasaran ada hubungan apa antara Seanu dan Abhiya. Dulu mereka biasa-biasa saja layaknya teman satu sekolah, namun perlakuan Sean pada Bhiya saat sebelum ujian memang mampu membuat Yujiya sedikit curiga.

Entah dia salah tangkap atau gimana, yang pasti menurut instingnya ia yakin mereka bukan hanya sekedar 'teman'. Pasti ada apa-apa.

Seanu memutar bola matanya malas. Ini kenapa dia jadi merasa terpojokkan, ya? Perasaan tidak ada yang salah sama sikapnya tadi.

"Apa yang harus dijelasin? Orang aku cuma manggil," sahut Seanu mengabaikan delikan Yujiya.

"Tapi kenapa panggilannya gitu? Mau banget dibikin salah paham." Secara tidak langsung gadis yang sering dipanggil Rusa Kutub oleh Ricky itu mendesak Seanu untuk mengatakan yang sebenarnya.

Sebagai seorang sahabat Bhiya dari masih Junior High School, Yujiya tentu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan sahabatnya itu. Mengingat Abhiya adalah orang yang sangat tertutup.

Seanu mulai lelah menghadapi cewe tiang ini. Lagian salahnya ada di mana? Dia hanya manggil untuk menanyakan keadaan Bhiya, tidak ada maksud lain. Kenapa jadi merembet ke mana-mana.

Ternyata cowok yang sangat love my self ini masih belum paham juga yorobun. Gimana mau paham orang dianya aja nggak peduli, hm. –Aurthor

Sambil menghela nafas kasar, Seanu segera berlalu pulang meninggalkan Yujiya. "Itu urusan kalian, jangan bawa-bawa aku."

Tolong tahan Yujiya agar ia tidak segera mendorong tubuh Seanu hingga tertabrak.

"Gitu, yah, cowok. Gampang banget bikin overthinking," gerutu Yujiya setelah Seanu meninggalkannya.

"Siapa yang bikin overthinking?"

.

Abhiya dan Kenan turun dari mobil setelah tiba di tujuan. Asisten rumah tangga; yang sudah bekerja sedari Alea masih balita, terlihat menunggu di depan pintu rumah utama. Wanita berumur yang kerap disapa Bi Yina tersebut mendekati kedua orang yang sudah ia tunggu.

"Den, Non, Pak Himalaya sama Bu Himalaya bakalan kesini sebentar lagi. Kalian disuruh buat siap-siap buat makan siang di luar sekaligus ada yang pengen Pak Himalaya sampaikan. Mau Bibi bantu siap-siap?"

Kenan mengerutkan keningnya. Aneh, karena Bi Yina memanggil Mirna dengan sebutan Bu Himalaya. Apa mereka memang sudah menikah diam-diam? Batin Kenan.

"Enggak perlu kok, Bi. Makasih udah ngasih tahu. Kami permisi," ucap Abhiya lalu memasuki rumah yang sudah ia tinggali selama enam belas tahun ini. Kenan pun menyusul setelah berpamitan singkat dengan Bi Yina.

Di ruang tamu, sudah terdapat dua orang asing yang kini akan turut tinggal bersama keluarga Himalaya ke depannya. Satya dan Yumna. Mereka sudah rapi dan duduk di kursi sambil memainkan ponsel. Bisa Kenan tebak, mereka juga akan ikut.

Tanpa menghiraukan pandangan calon saudara tirinya, Abhiya dan Kenan berlalu tanpa bertukar sapa masuk ke kamar masing-masing, dan bersiap-siap seperti yang dibilang Bi Yina.

Setelah beberapa saat, Kenan yang sudah rapi pun mengetuk pintu kamar Abhiya.

"Masuk," sahut Abhiya setelah mendengar ketukan pintu yang bisa ia tebak itu adalah kakaknya sendiri.

"Udah siap?" tanya Kenan menghampiri adiknya tersebut.

"Udah. Tapi perutku keram," jawab Abhiya.

"Kok bisa? Period?" Tebakan Kenan tepat sasaran saat Abhiya mengangguk. "Tapi nggak pa-pa 'kan?"

"Nggak pa-pa kok. Udah mendingan, yuk kebawah," ajak Abhiya mengambil tas selempang kecil yang senada dengan tunik selututnya.

Di ruang tamu ternyata Victo dan Mirna sudah ada menunggu Kenan dan Abhiya. Setelah kedua orang yang ditunggu tersebut terlihat, mereka langsung bangkit dan menyuruh bergegas ke mobil.

"Kita berangkat, satu mobil."

Abhiya dan Kenan sama-sama melotot. Semobil? Sebanyak ini? Pikiran ayah mereka sepertinya sedikit terganggu.

.

"Maaf, Yah. Aku baru datang," ujar Alea sedikit menunduk pada Ayahnya dan Mirna lalu duduk.

Tempat yang dipilih Victo ternyata sebuah restoran dengan bintang lima yang populer di kalangan para pebisnis. Lokasinya memang sedikit jauh dari kediaman Himalaya, namun dekat dengan beberapa perusahaan besar menjadikan restoran ini tempat favorit saat waktu makan tiba.

Jika menurut kalian keadaan saat ini canggung, maka itu benar. Apalagi tempat duduknya yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan pihak masing-masing menambah kesan tidak nyaman bagi sang empu. Namun demi citra keluarga, mereka harus tetap tenang dan elegan. Kalau bahasa kerennya, Slay dan Anggunly.

Sebelum berbincang, mereka menyantap hidangan dahulu untuk mengisi lambung yang kosong. Tanpa ada sepatah kata dari meja mereka, piring dan gelas pun kosong hingga hanya menyisakan beberapa noda.

Victo menyeka mulutnya dengan tisu. Setelah dirasa semuanya siap mendengarkan, pria berkepala empat itu mulai membuka suara.

"Ayah harap kalian tidak kaget lagi," Victo menghentikan perkataannya sebelum merangkul tubuh Mirna sambil tersenyum. "Kami akan menikah setelah ujian kalian selesai," lanjutnya hingga lengkungan bulan sabit tercipta lebar pada wajah Victo dan Mirna.

Alea melirik sedikit kedua adiknya. Kenan yang mengeraskan kepalan tangan di bawah meja. Abhiya yang diam bagai patung dengan kepala tertunduk ke bawah.

Gadis berkepala dua tersebut menghela nafas pelan, ia tidak heran dengan sikap kedua adiknya yang tidak jauh berbeda meskipun terpaut dua tahun. Mereka masih remaja labil yang belum mampu mengontrol emosi dan tindakan.

Sebagai yang tertua, Alea harus lebih memperhatikan Kenan dan Abhiya semenjak sang Ibu tiada. Dia tidak terlalu mengharapkan Ayahnya yang malah ingin menikah lagi.

Menurutnya, ini merupakan keputusan sepihak. Victo sama sekali tidak pernah membicarakan apapun soal dirinya yang akan menikah lagi. Victo hanya fokus pada pekerjaannya hingga hampir melupakan ketiga buah hatinya yang masih membutuhkan figur orang tua.

"Apa kalian keberatan?" tanya Victo saat merasa tidak ada respon signifikan yang diberikan Alea, Kenan, Abhiya, Satya, maupun Yumna.

Alea melirik Satya dan Yumna yang sama-sama terdiam. Ya ampun. Menjadi yang tertua ternyata susah juga, ya.

"Kalau itu yang terbaik, kami tidak keberatan," ujar Alea mencoba menerima mewakili keempat orang yang lebih muda darinya.

"Baiklah, terima kasih. Kalian bisa panggil Ayah ataupun Papa. Begitupula dengan Mirna yang bisa kalian panggil Ibu ataupun Mama," ujar Victo.

Mungkin Alea melupakan satu hal.

Apa ia yakin kalau ini merupakan yang terbaik bagi semuanya?

{I hope.} -Alea


Continued

ANY • MORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang