iv

47 8 0
                                    


-Sela Ujian-


"Emang nikahnya udah?" Yuji menatap Abhiya sambil mengunyah potongan batagor pedas ibu kantin yang nikmatnya tiada tara.

Abhiya pun mengerjapkan matanya kaget mendengar ujaran Yujiya.

"Hm, iya juga. Belum nikah tapi masa udah tinggal serumah ...?" gumamnya.

Syantia menepuk bahu Abhiya pelan. "Mungkin cewenya udah tekdung duluan kali," celetuknya yang diakhiri kekehan.

"Aw!" Syantia memekik saat tangan indah Yuji mendarat keras di atas bahunya.
"Gini nih, kalo mulutnya nggak ikut disekolahin," terangnya.

"Sekolah mulut di mana emangnya? Mau dong, siapa tahu mulutnya bisa dapet gelar sarjana, 'kan keren tuh."
Dua kali bahu Syantia menjadi sasak bagi tangan seorang Yujiya.

"Sakit ih," papar Syantia sambil manyun-manyun menggemaskan tidak jelas.

"Serius dikit 'napa sih?!" Hikara sudah mulai jengah dengan teman seperkumpulannya ini.

"Katanya, kalau orang sering ribut, itu tandanya mereka bakalan jodoh. Acieeeee jodoh!" Lelaki bersurai hitam dan berlesung pipi datang lalu duduk dengan santai. Tanpa permisi dia mencomot gorengan yang terpampang nikmat di atas piring.

"Juan!" pekik Hikara yang melihat aksi pelaku seenaknya mengambil gorengannya tanpa izin.

"Satu doang, Hik. Ikhlasin aja," ujar lelaki bernama lengkap Juan Aryana yang dengan mantap memakan gorengan hasil tangan jahilnya.

"Ngumpat boleh nggak sih?!"

"Ngumpat aja, yang dosa juga bukan aku."

Syantia udah ketar-ketir takut kalau Hikara dan Juan berdebat hingga main fisik, padahal perdebatan mereka sangatlah tidak penting. Dia hanya berharap ada yang datang untuk memisahkan mereka yang kini malah tambah menjadi-jadi.

"Apa?! APAA!!" Mata Juan melotot hampir keluar meledek Hikara yang sudah sangat kesal melihatnya.

"Juanjing—"

"Ribut lagi, gue tenggelemin juga di kolam ikan. Bubar!" Sang ketos datang sambil membawa stik drum yang ia ayun-ayunkan dengan jari-jari tangannya, mengancam akan memukul siapapun yang berani membantah perkataannya menggunakan stik drum coklat tersebut.

Sontak, melihat itu Hikara segera duduk ke tempatnya semula, bola matanya menajam membalas tatapan Juan yang juga menatapnya sambil tertawa meledek.

"Tatap terusss. Kalo jodoh, mampus!" Ucapan ketua osis itu membuat tangannya ditepuk hingga stik drumnya terhempas. Ia yang kaget karena serangan tiba-tiba dengan refleks mengambil stik drumnya kembali.

"Apasih njir, gitu doang langsung gaplok. Tidak ramah, bintang satu!" dengus lelaki bermata tajam itu lalu pergi meninggalkan si pelaku peng-gaplok yang merupakan sahabatnya.

"Hadeuh, si Rayen jadi terkontaminasi 'kan gara-gara si Bayu," gerutu pelaku lalu menyusul si ketos.

Yang lain hanya melirik pertengkaran singkat dua sahabat seorganisasi itu hingga saling meninggalkan kantin. Bukan pemandangan langka bila mereka berdua sering sekali berdebat tanpa ada yang mau mengalah.

"Sensi amat tuh bodyguard," celetuk salah satu teman Juan yang mengenal Rayen si ketos dan Joan si sektos yang selalu ada di sebelah Rayen.

"Tapi lucu sih, Rayen si cowo imut, sama Joan si cewe sangar. Cocok tuh!" lanjutnya sambil tertawa.

Tiba-tiba mulut cowok itu dibekap oleh adkel sekaligus bestie-nya yang tidak setuju dengan celetukannya.

"Bang Sean kalo ngomong gitu lagi, kita musuhan, titik." Cowok jangkung yang bernama Ricky ini memasang muka melas yang sangat menyebalkan. "Téh Joan itu milik penboi!" Yap, Ricky sang penggemar setia Joan si sekertaris osis.

ANY • MORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang