Aku kebas.
Aku benar-benar kebas.
Sejauh kaki melangkah, kenapa gerbang sekolah tidak juga muncul di depan mata? Akhirnya kuputuskan lesehan di jalan trotoar. Sepatu menjadi alas pantat, kaki selonjor seenaknya—malang-melintang memblokir jalan. Tidak kutemui bangku di sekitarku pun ruko untuk dijadikan tempat duduk. Sepanjang jalan isinya hanya trotoar di mana sisi kanan-kirinya berupa lahan kosong yang dirambati rerumputan teki.
Air botol tersisa seperempatnya saja. Aku jadi segan meminum semuanya sampai habis. “Sialan.” Kata itu yang terucap kemudian. Satpam sekolah tidak pernah percaya pada alasan apa pun, bagaimana kalau aku bilang: “Aku lupa jalan ke sekolah, Pak!”. Ia mungkin menjawab: “Omong kosong macam apa itu?!” lalu menghukumku scout jump di depan tiang bendera.
Melirik dari gawai, kuketahui jam sudah menunjukkan angka delapan. Kemungkinan sudah satu setengah jam aku mencari keberadaan sekolah.
Mungkin … mungkin pulang saja. Toh Ibu pergi kerja, ia tidak akan tahu aku membolos---ah Ibu pasti akan tahu. Ia punya nomor Bu Asmi. Sekalipun Ibu tak bertanya, Bu Asmi pasti akan aktif memberi info. Tipikal guru yang merepotkan. Tapi ya sudah, Ibu pasti akan membiarkanku.
Aku berbalik melalui jalan yang sama, menggok ke kiri, lalu ke kanan. Saat masuk ke perempatan gang, aku memilih jalan paving sebelah kanan. Jalan paving ini tembus ke jalan besar. Nah, cukup lalui arus pejalan kaki, maka aku akan tiba di … sekolah---?
“Baru datang juga kamu!” Pak Satpam menyalak padaku.
Tanpa ragu aku masuk ke dalam gerbang. “Pak, sekarang class meeting. Enggak ada KBM.” Kutunjuk lapangan yang disulap jadi acara tanding basket antarkelas. Para adik kelas berkumpul di pinggir menyoraki tim kelas.
Pak Satpam sensi sebentar, tak lama ia mengusirku agar segera menjauhi dirinya.
Dengan peluh yang menyelimuti, aku langsung kabur ke ruang BK walau angin AC membuatku mendadak kedinginan. Bu Asmi—yang sepertinya memiliki radar pendeteksi—tahu-tahu bertanya dari mana saja aku kok baru datang sekarang. Aku beralasan semua karena tadi aku berjasa mengangkat dagangan semangka milik nenek-nenek. Hanya itu yang kuceritakan, sisanya aku tutup mulut.
Tak lama setelah Bu Asmi pergi (baca: menyerah karena gagal mengorek informasi dari aku), Amu datang dengan berlembar-lembar kertas. “Nih, contoh soal tes perguruan tinggi.” Lantas ia mulai mencerikan kondisi kelas tanpa kuminta sekalipun. “Akhirnya semua mengungsi di kantin dan depan lab. Acara bersih-bersih ditunda, tapi nominasi ketua kelas terbaik mau diumumkan sekarang.” Mata Amu berbinar-binar.
“Mu, aku enggak mau diganggu.”
“Tadi kenapa kamu telat? Bu Asmi belum cerita ke aku, sih, jadi sekalian tanya ke kamu aja—“
“Jam berapa pengumumannya?’
“Setengah jam lagi, sih, katanya—“
“Pergi sana.”
Amu terkekeh kecil. “Yah mulai ngambek lagi—“
“Pergi, Mu.”
“Tapi ada yang soal PTN yang mau aku—“
“Pergi.”
“Soal PTN ini penting—“
“Pergi!” bentakku sangat keras.
Amu membeku. “Ah oke ….” Amu tersenyum kecut. “Mungkin lain waktu saja, ya.” Sebelum ia menghilang dari balik pintu, ia berkata, "Aku ... aku enggak tahu salahku di mana, tapi aku bakal tetap bilang minta maaf ke kamu. Kadang-kadang aku pengin kamu ngobrol ke teman-teman, kita saling membaur, gitu. Tapi kayaknya kamu enggak pernah mau itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crying Whales
Fantasy[Pemenang Wattys 2023 Kategori Twist Terbesar] Setelah bertemu dengan Nenek Bontot, aku melihat penampakan paus terbang di langit. Kupikir itu hanya halusinasi atau sisa-sisa fantasi masa kecil yang baru terwujud saat stres mendera. Kupikir begitu...