39

923 190 5
                                    

Kembali ke rumah masa kecil rasanya campur aduk. Rindu dan takut memenuhi hati. Aku rindu ingin bertemu Ibu. Di sisi lain aku ragu apakah sekali lagi akan ditunjukkan kekerasan serupa. 

Aku terpaku di taman depan, berdiri kaku seperti tongkat yang tertancap dalam. Tidak sesenti pun kakiku bergerak maju, sebab aku kembali ke tempat sama: rumah masa kecil yang hangat sekaligus menyesakkan. 

Pintunya terbuka lebar seorang-olah sedang menanti kedatangan tamu. Jendela-jendela yang terpasang masihlah banyak dan utuh. Cahaya matahari bisa leluasa menyinari seisi ruang tamu. 

Sayang sekali tidak ada kata mundur dari semua kilas balik yang kualami. Mau tidak mau, aku harus menuruti alur demi bisa mengingat siapa diriku. Perasaan macam apa ini? Aku rindu kepadanya, namun gentar setibanya kembali kemari.

Seiring langkah demi langkah, terdengar suara tangis bayi. Mulanya ia menangis kecil. Demi demi detik suaranya melantang. Saking kerasnya sampai menancap di kedua sisi gendang telingaku. 

Tetapi aku tidak menutup telinga. Kubiarkan sepasang pendengaranku ini merasakan lantunan bayi yang menangis di gendongan seorang ibu. Wanita itu adalah yang selama ini kucari. Kali ini ia tidak membiarkan rambutnya terurai. Ia menyanggul tinggi surai hitam legamnya. 

Benarkah aku bisa menjangkau masa lalu sampai di sini? Ini sudah bukan masa kecil, melainkan masa bayi. Aku bahkan tidak pernah ingat setitik memori masa bayiku. 

“Kenapa wajahmu terperangah seperti itu, Nona?” 

Aku berteriak histeris. “Setan Ganteng kenapa masih di sini?!”

Ia membeliakkan mata. “Kukira kau pikun dengan saya lagi."

“Ah benar juga, kau sudah ada dari jaman Belanda.”

“Betul sekali. Saya ‘kan sudah dari lama tinggal di sini.” Ia berdiri di sampingku. “Jadi Nona mampir lagi ke sini. Apa yang Nona lihat kali ini?”

“Masa bayiku. Bagaimana mungkin? Aku sendiri lupa kapan pertama kali pakai popok.”

“Wah wah itu bagus, bukan? Mungkin Nona telah lupa, namun masa lalu merekam kehidupan Nona dengan baik,” kata Setan Ganteng mantap. “Saya juga diberi penglihatan semasa saya masih umur satu tahun. Luar biasa sekali rasanya melihat masa muda orang tua saya.”

Namun yang ini tidak luar biasa. Ibuku yang baru-baru ini melahirkan jadi kebingungan. Ia tidak punya pendamping yang mengajari. Biasanya seorang wanita akan diajari cara merawat bayi oleh ibu atau mertuanya. Namun status Ibu sebagai janda dan keterasingannya di lingkungan keluarga ….

Adegan demi adegan ditunjukkan. Ibu sampai berlari ke tetangga sebelah. Ia meminta bantuan wanita lain untuk diajari cara mengganti popok. Syukurnya tetangga samping rumah mau membantu tanpa pamrih. 

Namun kusadar tetangga Ibu juga punya suami dan dua anak yang diurus. Ia tidak bisa membantu Ibu setiap waktu. Ada pekerjaan rumah dan masalah rumah tangga yang harus diatasi. Ibuku sangat memaklumi.

Penampilannya sangat berantakan. Tidak seperti masa SD-ku, ia abai menyisir rambut. Matanya hitam berkantung, punggungnya membungkuk, dan ia tak sadar daster yang dipakainya terbalik. 

Hari-hari awal menjadi seorang ibu tidak mudah. Hingga akhirnya seseorang lainnya datang membawa bingkisan besar. Lagi-lagi mataku membeliak lebar. Aku berkata histeris, “Bu Asmi!” 

“Apa lagi yang kau lihat, Nona?”

“Wali kelasku semasa SMA, Bu Asmi!”

Ibu dan Bu Asmi saling berpelukan. Bu Asmi ganti menggendong bayi yang ada di pelukan Ibu. “Masih kecil kamu, Sayang. Cepat besar ya, Nak. Bantu ibumu nanti.” Aku yang kecil merah itu hati-hati ditaruh di atas bantal besar. 

The Crying WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang