Sempat aku bertanya bagaimana cara berinteraksi dengan paus-paus itu. Nenek Bontot balik bertanya, “Bagaimana cara manusia berinteraksi satu sama lain? Kalau kau tahu, seperti itulah cara berinteraksi dengan paus-paus tersebut.”
Langkah kaki ini kembali bergairah. Layaknya seorang anak kecil, aku berlari riang meniti peraspalan. Kuingat-ingat jalan rumah Ibu, kubayang-bayang bagaimana ia menanti kedatangan anaknya ini, kusanjung manis gurih masakan Ibu, kuterima semua pemberian wanita itu. Intinya sekarang aku tahu cara mencari jalan pulang.
Hujan yang semula mereda kini kembali bertandang. Tidak peduli hari-hari berlalu, hujan terus mengguyur seolah-olah akan menetap selamanya. Genangan-genangan yang kulalui tidak pernah surut, ilalang di ketiak reruntuhan bangunan tidak pernah membusuk, pun gedung-gedung akan selamanya mati dalam selimut lumut.
Tanpa payung tanpa jas hujan aku membelah tirai air. Karena saking keranjingannya, aku langsung melompat keluar dari toko, lalu berburu paus yang tidak kunjung lewat. Beginilah jadinya! Ada saat tidak dibutuhkan, tidak ada saat sangat dibutuhkan. Paus itu sebelas dua belas dengan gunting kuku.
Melalui jalan titian serupa, aku menelusuri alur retak peraspalan yang bobrok. Kulalui lagi telaga-telaga buatan yang tersebar tidak beraturan, melompati bangkai mobil malang-melintang. Dalam sekali tancap gas, aku sudah tiba lagi di gedung-gedung yang berdiri kokoh.
Kupayungi kedua mata, lalu mendongak ke atas langit. Tidak ada tanda-tanda kemunculan sirip yang menyembul dari balik awan. Tak terdengar pula bebunyian rintihan paus. Langitnya tertutup tebal jelaga awan.
Ketika aku hendak mencari tempat berteduh, kudengar desir angin meniup punggung. Begitu aku menoleh, seekor paus di kejauhan hendak mengarah kemari. Sontak aku berlari menemuinya. Sekali lagi aku menyisiri jalanan yang baru saja dilewati.
Kuangkat kedua tangan, melambai-lambai di atas langit. “Oi! Ini aku! Aku mau pulang!” Seperti mengejar layangan, aku berlari mundur sambil mendongak ke atas. “Apa kau tidak bisa mendengarku?! Kata Nenek Bontot, kau bisa membawaku pulang!” Namun paus itu terus bersenandung sedih tanpa mempedulikan aku. Mungkin karena tubuh paus raksasa, sedangkan matanya terlalu mungil—belum lagi aku berada tepat di bawahnya.
Aku berlari jauh melebihi kecepatan terbangnya. Aku sekali lagi menelusuri bangunan kokoh itu. Segera kucari gedung pencakar langit yang sempat kutemui beberapa waktu lalu. Gedung yang tinggi itu dengan mudah kutemukan di antara belantara gedung-gedung lainnya. Tanpa ragu kumasuki gedungnya yang gelap gulita.
Aku bersandar pada dinding berlumut, hati-hati meniti tangga yang baru setengah jadi, dan sesekali menekan gemuruh detak jantung. Mata ini tiada henti mengerjap demi memasok lebih banyak cahaya meski kutahu jendela-jendela yang tersebar tidak cukup menerangi jalan. Namun aku tidak menyerah. Kutilik dari balik jendela, paus itu masih jauh untuk mengarah kemari. Aku punya banyak sekali waktu agar bisa segera ke titik tertinggi dari gedung ini.
Tidak tahu aku mana air mana peluh, tapak kaki terus meniti anak tangga yang tidak ada habisnya. Tidak henti-hentinya kepala mendongak demi bisa melihat berapa banyak tangga yang harus dilewati. Lutut bergetar, aku sempat jatuh bersandar pada sebuah jendela.
Dari sini dapat kulihat paus itu mulai terbang rendah, hampir menyamai tinggi gedung. Sedu sedan kerasnya terdengar menggaung sampai ke dalam gedung. Bunyi napas kesalku bahkan bukan berarti apa-apa dibandingkan miliknya.
Aku kembali melangkah maju demi sampai ke puncak bangunan tinggi ini. Demi nama Ibu, demi dirinya yang kunanti–aku pasti akan pulang!
Sebuah lubang besar tanpa pintu sudah menanti. Aku berjalan merangkak agar bisa melaluinya. Seketika hujan deras kembali mengguyur kepala. Kuangkat kepala demi melihat segala yang tampak kecil di kedua mata. Meskipun hujan turun begitu deras, butiran airnya tidak menghalangi pandanganku dari 360 derajat pemandangan di sekeliling.
Hampir semua bangunan runtuh, tertutup pohon-pohon subur. Telaga-telaga besar yang kulihat sebelumnya tidak berarti apa-apa di mata ini. Ruko-ruko tempat Nenek Bontot dan pria itu singgah jauh lebih mungil dari telunjuk tangan. Dari segala kemungilan yang terhampar, seekor paus raksasa terbang lambat—saking lambatnya sampai-sampai aku tiba lebih dulu dibandingkan dirinya.
Kutangkup kedua tangan membentuk corong. “Ooooii! Apa kau bisa mendengarku?!” Sayang seribu sayang, bahkan ketika aku sudah menyejajari tingginya, masih belum terdengar suaraku. “Suaramu jelek! Jangan nyanyi mulu, dong!”
Aku lebih nekat mendekati ujung gedung. Kedua kaki ini bergetar, sensasinya menjalar sampai ke tengkuk. Tanpa berani melihat ke bawah, aku terus menatap moncong paus itu. “Bawa aku pulang ke rumah, tolong!”
Paus terbang yang selamban kura-kura itu sekarang melintasi pencakar langit. Ia tepat di bawahku. Aku pun menunduk dibuatnya. Badan paus ini lebih besar lagi dari yang kubayangkan, malahan menyerupai besarnya gedung-gedung di sekitar sini. “Hei! Ada aku di atasmu, dasar sialan!” Lebih sialannya lagi aku sedang berkomunikasi dengan punggung yang terus menjauh.
“Woy berhenti!”
Namun paus cengeng ini terus mengibas sirip kecilnya.
Kepalaku mengeluarkan perintah yang mengerikan: lompatlah lompatlah lompatlah! katanya. Kujambak rambutku kuat-kuat. Mana bisa? Di bawah sana sangat kecil, aku bersumpah kakiku tidak bisa berhenti bergetar sedari tadi. Tapi kalau tidak lompat, nanti pausnya pergi. Ini kesempatanku.
Kutengok tinggal bagian pertengahan sampai sirip saja yang dekat dengan gedung.
“Ayo … pasti bisa. Nanti kau merayap ke punggungnya lalu bertanya. Cuma itu saja.”
Seperti penumpang yang ketinggalan, aku berlari kecil menyejajari kereta yang mulai bergerak. Namun risikonya besar, aku hanya bisa menyejajari hampir bagian paling akhir gerbong.
Di saat-saat genting ini, aku melihat wajah Ibu di kepala. Ia tersenyum menyapaku, Ibu sudah lama menanti. “Demi pulang ke rumah! Demi Ibu!”
Tanpa keragu-raguan aku melompati gedung. Nyawa seketika terlepas dari badan, tapi syukurnya aku hinggap di bagian belakang si paus.
Namun itu tak bertahan lama. Kulit yang tak rata itu ternyata licin! Cengkeramanku terlepas. “Anjing!”
Seketika aku terperosok jatuh. Secepat membalikkan tangan, kepala menghadap tepat ke bawah. Kucoba menangkup kepala kuat-kuat—
Aku bahkan masih belum sempat mengumpat kasar sebelum kematian tiba. Kutahu ini cara berpikir berandalan, tapi siapa yang tidak kesal naik tangga ribuan jumlahnya hanya berakhir mati kurang dari lima detik.
Menjelma menjadi sebuah gelas kaca, aku hancur berkeping-keping. Nyawa ditarik begitu cepat sampai-sampai aku tidak sadar ternyata sudah mati. Lalu semuanya gelap, entah sampai berapa lama. Layaknya bangun dari koma panjang, kesadaran mulai terkumpul. Selapis demi selapis, lama-lama menjadi bukit, hingga akhirnya aku bisa mereka ulang kematianku.
Kupikir aku terbaring di ranjang rumah sakit dalam keadaan lemah papah. Ternyata siumanku aneh. Aku tahu-tahu berdiri menyandar di dinding dengan kedua lengan bersilang di depan dada. Aku seperti anak sekolah yang sedang berpose ala-ala model remaja.
Tanpa bisa menjelaskan perasaan ini, beginilah yang kulihat:
Aku berada di luar kelas, bersandar santai dekat pintu. Kugeser punggung ini agar bisa mengintip, kulihat orang-orang kelas berada di bangkunya masing-masing, lengkap dengan Camel dan antek-antek codet. Mereka semua sedang menyimak anak-anak yang bergiliran memperkenalkan diri di depan kelas. Lalu ada aku yang mendapat giliran selanjutnya. Si Aku, kelas sepuluh.
Dengan segala hormat, aku sangat ingin mengumpat pada apa pun. Kenapa aku malah ke masa awal masuk SMA?! Siala--
The Crying Whales
1124 kata
Hmm ;___;) kali ini Ayam apdetnya ga lama-lama :3
AyamLincah
Selasa, 31 Mei 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crying Whales
Fantasy[Pemenang Wattys 2023 Kategori Twist Terbesar] Setelah bertemu dengan Nenek Bontot, aku melihat penampakan paus terbang di langit. Kupikir itu hanya halusinasi atau sisa-sisa fantasi masa kecil yang baru terwujud saat stres mendera. Kupikir begitu...