"Akhirnya kau bangun juga."
Kuteleng kepala ke kanan dan kiri. Banyak rak dipenuhi makanan kemasan dan pajangan yang memenuhi mata. Sepintas yang terpikirkan ini adalah toko swalayan. Tak lama setelahnya---oleh seseorang yang tak kukenal ia siapa--meletakan secangkir teh tak jauh dari jangkauan tanganku. Tehnya mengepulkan asap yang menari lambat di atas permukaan.
"Aku kasihan padamu, Nona," ujar seorang pria muda berseragam toko. Ia punya alis yang sangat tebal macam ulat bulu. "Kau akhir-akhir ini ditemukan tak sadar diri. Entah sudah berapa lama kau pingsan di luar sana."
Jujur rasanya badanku sakit, namun bukan separah orang-orang berpenyakitan di rumah sakit. Badanku seperti badan orang-orang yang terlalu banyak tidur, lalu bangun-bangun pundak lemas sekali dan mata berkunang-kunang. Saking lemasnya sampai ogah bangun dari kasur.
Tapi kasus yang ini aku harus bangun untuk bertanya, "Ini di mana?"
Ia menghela napas. "Di dunia nol."
"Apanya?"
"Kamu lupa lagi? Dunia nol---dunia jiwa-jiwa tersesat."
"Siapa yang tersesat?"
"Orang-orang yang belum tahu identitasnya semasa hidup di dunia. Itu alasan utama kenapa kau bisa ada di sini."
"Ini di mana?"
Ia menghela napas sangat panjang. Entah siapa orang ini, ia seperti kelelahan setelah ambil jatah lembur semingguan penuh. Pria toko membantuku bangkit, ia memberikan secangkir teh buatannya tadi. Seharusnya aku bisa lebih waspada, tetapi ia tampak seperti orang baik. "Kamu masih ingat dengan toko nenek jualan roti, bukan?"
"Toko apa?"
Pria itu tersenyum kecut. "Nanti saya antarkan."
Aku melintasi sebuah jalanan yang sama sekali asing. Hujan turun deras sekali, awan pekat yang menggantung tampak pekat. Seakan-akan hujan tak akan pernah berhenti.
Sisi kanan dan kiri jalan ada banyak toko berjajar. Tempat-tempat ini mengingatkanku dengan ruko-ruko yang mangkal di dekat pasar. Tetapi jujur sepanjang hidup tak pernah kutemukan ruko-ruko dengan etalase sebagus ini.
Barang-barang dagangan dipajang rapi, seperti pemandangan toko romantik telenovela. Janggalnya ruko-ruko ini bertahan di tengah-tengah hancurnya gedung-gedung pencakar langit. Bagaimana ya bilangnya? Kurang lebih menyerupai sekumpulan ruko yang berhasil bertahan di daerah pasca gempa.
Pria toko itu mengantarkanku ke sebuah toko roti dengan hiasan glamor. Aku mungkin tidak akan yakin kalau itu toko roti jika bukan karena roti-roti yang dipajang. Seorang wanita tua bongsor menyambut. Ia berkeriput, tetapi rambutnya selebat dan sesehat wanita muda. Salah satu gigi serinya diganti dengan gigi emas. Di sampingnya ada seorang perempuan yang-berani-beraninya-menatapku sinis dari atas sampai bawah!
"Akhirnya kau kembali lagi, Nak," katanya garang.
"Siapa kau?"
"Kau yang menjulukiku Nebo." Nenek itu menekan kedua bahuku. "Tinggallah di sini daripada kau lupa seutuhnya. Aku bisa menjaga ingatan dan kewarasanmu sebagai manusia."
"Tinggal di sini?" Aku sepertinya pernah mendengar kata-kata itu. "Oh, kau Nebo, ya? Tukang rekrut pelayan. Terus perempuan di sampingmu itu tukang gebuk-!"
"Heh mulutnya," potong si Tukang Gebuk.
"Sepertinya ia sudah ingat lagi," kata Pria Toko.
"Pokoknya aku gak mau, aku bakal pergi dari sini!" Tidak dapat diganggu gugat. Pasti sekarang aku mati suri. Mereka semua menjebakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crying Whales
Fantasy[Pemenang Wattys 2023 Kategori Twist Terbesar] Setelah bertemu dengan Nenek Bontot, aku melihat penampakan paus terbang di langit. Kupikir itu hanya halusinasi atau sisa-sisa fantasi masa kecil yang baru terwujud saat stres mendera. Kupikir begitu...