Pukul delapan malam. Setengah hati Rean mengembus napas panjang, menutup pintu kendaraan. Ia menatap jam sejenak lalu memasuki rumah.
Sulit dipercaya, kalau dulu rumah ini pernah menjadi musuhnya. Tempat yang besar dan terlihat nyaman dari luar, malah dulu memberi ketakutan terbesar yang meruntuhkan segala harapannya. Sekarang? Entahlah, sepertinya hal itu sudah menghilang. Hanya saja ia yang terlanjur terbiasa dengan segala ketidaknyamanan, malah menimbulkan keganjilan pada ketiga adiknya.
"Gue pu--"
Pintu rumah langsung terbuka, sebelum Rean sempat meraihnya. Dikta, adik pertamanya itu berdiri tepat di hadapannya.
Rean mengernyitkan dahi, merenggangkan dasi sejenak lalu melepas sepatu. "Lo ganti kacamata?" Mungkin warna pinggirannya masih sama, hitam, tapi Rean yakin, ada yang berbeda dari modelnya.
"Ya, minus gue nambah. Gue terpaksa ganti bingkainya karena kebetulan patah."
"Wajar, udah sepuluh thaun lo nggak ganti." Rean langsung saja masuk, berjalan menuju ruang tengah.
Hening, beberapa hari ini rasanya ada yang hilang. Tidak ada Nanta yang sedang belajar maupun Gio yang mengerjakan tugas di lantai bawah. Ya, sedikitpun tidak ada tanda-tanda barang yang tertinggal seakan tidak pernah dihuni sebelumnya.
Hanya ada Dikta, bersama layar laptop, cas, dan buku catatannya.
"Nanta di kamar, Gio ada di ruangan kerja lo."
"Ruang kerja gue?" Rean mengangkat kepala, memperhatikan salah satu ruangan yang berada di samping kamarnya. Tertutup rapat. "Ngapain dia di sana?"
"Nunggu lo," jawab Dikta, datar. Membalikkan badan lalu kembali pada rutinitas. "Hati-hati bicara sama dia. Keadaan dia lagi nggak baik belakangan ini."
"Masalah kemarin, dia tahu?"
Tanpa menoleh, Dikta mengangguk, menjulurkan kaki ke sofa. "Dia marah besar sama gue, mungkin sama lo juga."
Rean memejamkan mata, mengusap wajah dengan gusar. "Gue lagi nggak minat berantem sama dia."
"Ya, harusnya dia berantem sama lo, tapi gue nggak tau, pulang kuliah tadi tuh anak udah membaik kayaknya. Jaga-jaga aja, kadang dia sulit ditebak."
Ulasan senyuman tipis terangkat di sebelah sudut bibir Rean, menatap ruangan itu dengan setengah tatapan bangga. Langsung saja ia masuk dengan pelan, begitu tidak ada jawaban ketika ia mengetuk pintu.
"Yo? Lo tidur?"
Tanpa bertanya harusnya Rean tau jawabannya. Seseorang sedang berada di kursi putar, bersama beberapa tumpukan buku yang tertera di meja, seperti baru saja dibaca.
Tanpa suara, Rean memperhatikan kondisi adiknya itu sejenak. Gio yang masih terlihat pulas, sebelah tangan itu terlipat sebagai alas kepala, satu lagi memegang bingkai foto kecil yang tertera di meja.
Foto keluarga. Rean ingat, foto ini diambil ketika keenamnya sedang liburan di Disneyland Singapura. Berapa kali Gio yang masih kecil merengek untuk ke sana bahkan membujuk seluruh anggota keluarga dengan berbagai cara.
Kenangan baik apa yang bisa gue beri untuk lo nanti, Yo? batin Rean, bertanya dalam hati, lalu mengguncang tubuh adiknya itu dengan pelan hingga suara lenguhan terdengar seketika.
"Nanti, Bang Dik. Gue masih mau ngomong sama dia," ucap Gio setengah sadar, menepis tangan Rean dengan kesal.
"Lo mau ngomong sama gue, Yo?" tanya Rean, mengguncang tubuh itu kembali. Ah, tidak, ia hanya menusuk lengan itu dengan salah satu ujung jari. "Buruan bicara, gue juga mau istirahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Teen FictionDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...