1. Pelarian

43 11 13
                                    

Dalam hening, aku selalu berharap. Semoga di semesta lain kita dapat saling bertemu dan bercengkerama. Karena di sini, aku dan kamu hanya sebatas orang yang saling mengenal melalui sebuah perantara, tanpa dapat bertegur sapa.

***

Begitu berat melangkah, sepasang sepatu mungil membuat jejak di sepanjang tumpukan salju yang membekas di atas tanah.

Sepatu yang dikenakan oleh perempuan pemilik rambut jelaga bergelombang, membelah butiran salju demi salju yang ada di sepanjang trotoar menuju pinggiran jalan pojok Kota London.

Sambil menahan sesak di dada, perempuan yang tengah terisak tersebut merapikan syal tebal yang melilit leher jenjangnya. Dalam hening malam natal, helaan napas terdengar, asap kecil terlihat begitu napasnya berembus beberapa detik. Tak lupa, sorot sinar lampu jalan membuat pantulan cahaya keluar dari iris jelaga miliknya yang ikut basah meneteskan air hangat mengikuti tiap salju berjatuhan.

Sudah lama sejak ia mulai menangis. Di sepanjang malam natal, tiap detiknya terasa asing setelah kali pertama keluar dari tempat persembunyian menakutkan.

Orang-orang yang berkata tempat persembunyian tersebut sebagai rumah, tempat hangat di mana selalu mereka jadikan sebagai tempat untuk berpulang. Lalu, rumah macam apa yang selalu memberikan ketakutan tiap kali berada di dalamnya?

"Sepertinya aku harus mencari tempat istirahat sementara," gumamnya.

Dia merogoh saku mantel tebal yang dikenakan. Berniat mengecek kembali uang bawaan yang sempat disisihkan dari uang bulanannya untuk melancarkan aksi pelarian seperti ini.

Berhenti sesaat di bawah lampu jalan, demi menghitung seberapa banyak jumlah uang yang baru saja dia ambil keluar dari dalam saku mantel. Tak sengaja, ada satu benda lagi yang ikut jatuh setelah beberapa pound sterling tergenggam di dalam tangannya.

Sebuah kartu identitas terjatuh. Perempuan tersebut mengerutkan kening, buru-buru membungkuk untuk mengambil kartu identitas di bawah sana sebelum salju yang berjatuhan menimbun benda kecil itu.

Dengan headline kartu tersebut menyebutkan Provinsi DKI Jakarta, agaknya pemilik kartu itu bukan berasal dari London. Mata perempuan tersebut menyipit untuk membaca dengan saksama nama pemilik dari kartu tanda pengenal di genggamannya, meski ia tahu betul siapa pemilik dari kartu identitas itu.

Agatha Ainsley, nama perempuan yang kini berdiri di bawah lampu jalan. Sudah hampir lima tahun ia terkurung di sebuah tempat yang berada di pusat Kota London. Hampir putus asa dibuatnya, malam natal kali ini ia pun selalu berharap untuk dapat kembali ke Jakarta. Meski Ainsley tahu betul, tak pernah ada satu kemungkinan untuk dapat mengembalikan dia ke kampung halamannya.

"Uangku hanya tersisa 20 pound sterling," ucapnya sambil mengembalikan pecahan kertas di genggamannya ke dalam saku mantel tebal yang dia kenakan.

Setelah berbagai macam perjalanan tiada henti. Kepalanya berpaling melihat jam tangan yang melingkar di tangan kiri, melihat angka di sana, sejenak sadar bahwa waktu telah berlalu sangat lama sejak dia menginjakkan kaki pertama kali di atas salju beberapa jam yang lalu.

"Sudah jam dua."

Selangkah demi selangkah jarak yang ditempuh, lampu pertokoan terlihat telah lama padam. Tanpa sadar dan tak tahu tujuan berikutnya, sekilas Ainsley berpikir untuk bergabung dengan orang-orang tanpa rumah yang tertidur di dalam stasiun kereta bawah tanah.

Namun, berapa kali pun dia berpikir. Tetap saja ia ragu, kabur dari rumah mengerikan tak lantas membuat perempuan itu mengetahui tempat untuk berpulang selanjutnya. Hanya saja, berkeliaran di bawah butiran salju dengan suasana sekitar yang sepi selama beberapa jam membuatnya kedinginan.

Plastic Memento ✅ [END, UNPUBLISH] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang