Terasa bernostalgia, saat Ainsley memandang ruangan sempit dengan tembok bercat putih menyeluruh. Degup jantungnya seirama dengan suara detik jarum jam, yang mengalun selayaknya sebuah melodi setelah kerinduan terasa amat sangat mendebarkan.
Matanya berpaling menatap tiap inci ruangan tersebut. Kasur yang terbalut seprai biru laut, poster laki-laki yang tertempel di bagian dinding sebelah kanan, serta seperangkat komputer yang tersimpan di atas meja bersebelahan langsung dengan lemari pakaian di sampingnya membuat dia terdiam di atas ranjang dalam waktu yang cukup lama.
Matanya basah setelah menyentuh kasur yang tadi dijadikan sebagai tempat beristirahat, aroma vanili menyeruak dari sebuah lilin aromaterapi. Suasana yang terasa amat sangat dirindukan dari setiap detail ruangan tersebut, sejuta memori berhamburan dari setiap penghirupan napas sejak pertama kali terbangun dari tempat masa lalunya.
"I-ini ... tidak salah lagi."
Iya, dia mengingatnya. Ruangan tersebut adalah kamar yang dahulu dia jadikan sebagai tempat berpulang sebelum bermigrasi sepenuhnya ke London bersama kedua orang tuanya.
Kamar yang menyimpan begitu banyak kenangan semasa remaja. Ainsley pun diingatkan kembali, bahwa sebenarnya dahulu tempat tersebut adalah sesuatu yang memberikan ketenangan sekaligus luka yang mendalam.
"Bagaimana ini bisa terjadi?"
Ainsley kemudian berdiri, berjalan ke arah komputer, sambil sesekali menyeka air mata, lalu berusaha berpikir untuk mengaitkan tiap kejadian yang menimpanya selama menjalani masa pelarian semalam.
Portal putih yang muncul di dalam gorong-gorong, kembali ke Indonesia tanpa penyebab yang jelas, berjalannya program game Plastic Memento yang seharusnya telah berhenti beroperasi. Serta, sejak awal kemunculan Ethan di layar monitornya adalah sebuah kesalahan.
Tak lantas membuatnya berpikir kalau semua kejadian janggal itu tidak sengaja menimpanya, Ainsley menyadari beberapa kejadian menakutkan yang menimpa dirinya setelah perjalanan pertama di London bersama kedua orang tuanya, lalu mengaitkan setiap kejadian selama dia memasuki sebuah rumah di London sendirian hingga saat ini diteleportasikan ke Indonesia dalam sekejap mata.
Bahkan bagi Ainsley, rumahnya di London yang dipenuhi oleh berbagai macam hal-hal yang menakutkan tak lebih dari sekadar kewajaran. Mungkin semua yang terlihat sekarang adalah keajaiban yang Tuhan berikan sejak awal dia mengalami kesengsaraan, agar dia dapat kembali memintal ulang garis takdir yang tidak dapat terealisasi.
Kemudian, Ainsley menyalakan komputer yang berada di depannya. Demi memastikan bahwa benda tersebut masih hidup, setelahnya layar monitor menampilkan logo Windows sebelum berganti memperlihatkan beberapa software yang terpasang. Seketika, senyuman tersungging di bibirnya.
"Ya, ini masih sama seperti dahulu."
"Tapi ... apakah aku masih bisa bertemu Ethan jika memainkan Plastic Memento?" Ainsley membasahi bibirnya menggunakan lidah, ketika dia dengan cepat menekan logo game tersebut dua kali menggunakan tombol kiri pada mouse.
Tak lama, sebuah loading screen terlihat. Sesuatu yang seharusnya familier dengan Ainsley, tapi yang membedakan, tampilan game tersebut berbeda dari yang dia mainkan di warung internet semalam. Tampilan yang dia ingat sebagai Plastic Memento di awal perilisan, dia pun tahu bahwa game yang dimainkannya saat ini tidak lain adalah versi lama sebelum pembaruan besar-besaran yang terjadi ketika dia baru meninggalkan Indonesia.
Game pun masuk setelah Ainsley menekan tombol log-in. Trailer yang seharusnya ada di awal game dia lewatkan begitu memasuki game tersebut. Ainsley terdiam setelah melihat interface game yang terasa familier dengan desain simpel yang menampilkan berbagai fitur game dalam sebuah garis lurus di bagian pojok kanan.
Langsung dia membuka logo peta tempat Kota Plastik berada. Tak pernah terbayangkan begitu pertama kali masuk yang menyambutnya adalah tampilan perkotaan yang rusak dengan penuh glitch sistem di dalamnya. Tampak tekstur tiap bangunan yang berwarna monokrom, dipenuhi beberapa pohon yang melayang tanpa adanya gravitasi.
Apartemen yang menjadi sebagai tempat tinggal Ethan terlihat penuh akan warna ungu. Terlihat di setiap sudut kota, tak ada karakter yang tinggal di dalamnya, begitu pun dengan Ethan yang ikut menghilang.
Ainsley mengarahkan kursor tempat di tengah klub malam, menekan beberapa kali. Namun, tak ada loading screen yang menandakan berpindahnya lokasi. Hanya bagian komputer yang terasa berat, dengan sebuah peringatan yang menampilkan logo darurat.
[⚠️SISTEM TIDAK BISA DIAKSES⚠️]
Tubuh Ainsley menegang begitu melihat berbagai tulisan yang sama mulai memenuhi layar monitor. Napasnya tertahan beberapa detik ketika dia memukul CPU beberapa kali sambil menekan tiap bagian keyboard. Seperti deja vu dari kejadian tadi malam, keringat mulai memenuhi dahinya hingga menetes di atas meja.
"Bagaimana ini ...."
[Sistem mengalami gangguan]
[Melakukan reboot sistem]
Reboot sistem, hal itu yang dia harapkan. Sebab, kemarin untuk bertemu dengan Ethan pun komputernya perlu mengalami hang terlebih dahulu. Mungkin juga kali ini sama, Ethan akan muncul dengan senyum terbaiknya sambil menceritakan kehancuran Kota Plastik.
Membayangkan dia tersenyum saja sudah membuat jantungku berdetak lebih cepat, ucap Ainsley dalam hati.
Begitu layar tiba-tiba mati. Dia dengan sabar melanjutkan menunggu demi bertemu kembali dengan Ethan seperti kejadian sebelumnya. Meski ada rasa khawatir tiap kali detik berlalu, namun, kepercayaannya kepada Ethan tak lantas membuat hatinya goyah.
Meski komputer miliknya harus mengalami gangguan, dia akan rela jika pada akhirnya Ethan akan muncul menyapanya kembali untuk melanjutkan obrolan yang sempat tertunda.
Hampir sepuluh menit Ainsley menunggu, tiba-tiba layar monitor menyala. Menampilkan logo Windows kembali tanpa adanya Ethan yang muncul di dalam layar.
Sontak, dadanya sesak. Tak ada Ethan di layar, hanya menampilkan beberapa software yang terpatri seperti pertama kali dia menghidupkan komputer tadi.
"Ethan!"
Ainsley berteriak, menyebutkan nama Ethan beberapa kali sambil menangis. Tak ada jawaban, lantas semakin histeris dia dibuatnya setelah detik berlalu tapi Ethan tak kunjung datang menemuinya lewat layar monitor.
Dengan geram, Ainsley memukul CPU dengan keras. Tanpa memikirkan lebih jauh dampak yang akan menimpa komputer jika dia terus berlaku seperti itu. Namun, karena rasa cinta berlebih yang dia rasakan. Membuat perempuan itu buta akan sekitar, dia menolak fakta, bahwa Ethan hanyalah karakter fiksi yang tidak lain adalah tak adanya satu pun kesempatan untuk dapat bertemu laki-laki tersebut secara langsung.
Dalam tangis tiada henti, sebuah suara ketukan dari arah pintu terdengar. Membuat Ainsley terdiam lama memandang pintu kamar, menatap dengan bengis benda tersebut, dengan emosi yang masih tersimpan.
Lalu, mendengar tak ada suara lebih lanjut. Dia pergi membuka pintu tersebut, ketukan singkat yang membuat Ainsley berpikir: apa ada orang lain di dalam rumah selain dirinya?
Kemudian, pintu terbuka. Tubuh Ainsley menegang, menatap tempat di depannya yang benar-benar bukan seperti rumah yang dia kenal.
Hamparan rerumputan beserta langit biru yang membentang luas, tak jauh dari pintu yang Ainsley buka, terdapat berbagai bangunan bertingkat yang familier dengan sebuah kubah transparan. Tempat di mana cinta pertamanya berlabuh, Kota Plastik yang begitu luas dengan tiap detail bangunan dan aktivitas para karakter yang masih berjalan. Membuat Ainsley senang sekaligus bingung.
Senang karena dapat melihat masa lalu yang tadi sempat mengecewakannya. Lantas bingung karena yang dia lihat di depannya adalah sebuah kota mini berukuran tak lebih melewati dadanya dengan karakter game Plastic Memento yang berukuran kecil seperti sebuah boneka Barbie.
***
A/N:
Ainsley mulai nunjukin warna aslinya. Btw, Ainsley belum mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Plastic Memento ✅ [END, UNPUBLISH]
FantasíaSebuah game ottome simulasi pengembangan kota yang ada di komputer dengan latar dunia plastik tempat para boneka plastik tinggal. Game yang diperankan Ethan Kenzier sebagai pemeran utamanya yang tinggal di Kota Plastik, membuat Agatha Ainsley jatuh...