4. Pengejaran

15 5 0
                                    

Pertengahan kota yang dipenuhi oleh sebuah barrier berbentuk kubah transparan di setiap sudutnya, memberikan pembatas antara kota tersebut dengan kota-kota lainnya. Cahaya terang lampu perkotaan, memberikan suasana gemerlap begitu gedung-gedung pencakar langit menampilkan lampu peringatan perayaan festival malam yang akan berlangsung beberapa hari ke depan.

Dua orang laki-laki sedang menatap langit berbintang sambil menikmati sebotol vodka di dalam satu-satunya ruangan VIP yang berada di salah satu klub malam.

Bau minuman keras tercium, keduanya bersandar pada sandaran sofa, mencoba menenangkan raga sambil termenung memutar kembali ingatan tentang perjalanan panjang yang telah mereka lalui hingga saat ini.

Di atas atap ruangan yang dilapisi oleh kaca transparan, cahaya rembulan terpancar memasuki tiap inci sudut ruang VIP. Memberikan tambahan ketenangan pada setiap detiknya, selama suara gaduh dari luar sana dapat teredam, begitu pintu ruangan tersebut ditutup.

Dalam keheningan mendalam, salah satu laki-laki membuka mulutnya setelah beberapa kali mengedipkan mata berusaha agar tetap mempertahankan kesadaran. Membahas sebuah topik yang selalu dia pertanyakan selama beberapa minggu terakhir, walau terlihat dia hampir kesusahan hanya untuk mengeluarkan sepatah kata.

"Axel, bagaimana menurutmu jika dunia kita adalah sebuah game dan ada orang lain yang memainkan game tersebut?" Ethan bertanya dengan suara serak, kedua matanya terlihat masih sembab sehabis menangis setelah meneguk segelas vodka tadi.

Sang empunya nama yaang dipanggil oleh Ethan melihat sekilas ke arah laki-laki itu. Setelahnya dia tertawa, menepuk pundak Ethan sembari memijat pangkal hidung miliknya menggunakan kedua jari.

"Jika dunia ini sebuah game? Tunggu, lelucon macam apa yang coba kamu sampaikan, Ethan. Jika dunia ini adalah game aku juga akan memainkan game tersebut." Axel merebahkan tubuhnya di atas sofa, lalu memejamkan mata setelah merasa dunianya berputar lebih keras.

"Tidak ... maksudku, menurutmu—"

"Sudahlah, Ethan .... Sepertinya kamu sudah terlalu mabuk."

Ethan mengerutkan kening, melihat ke arah Axel. Menyadari laki-laki di sampingnya telah kehilangan kesadaran sambil mengeluarkan begitu banyak air liur, membuat Ethan menghela napas panjang.

"Sepertinya pekerjaan rumahku bertambah," ucap Ethan sambil mencoba memapah tubuh Axel sebelum dia juga ikut kehilangan kesadaran.  Padahal dia yang berniat menghiburku hingga mengajakku ke tempat seperti ini.

Baru dua langkah dia keluar memapah tubuh Axel yang lumayan berat. Tiba-tiba, jantungnya berdetak lebih cepat, kepalanya semakin berputar. Tubuhnya terhuyung tanpa arah mencoba mencari lift yang menuju menuju lantai satu.

Pandangan Ethan mulai berkunang-kunang, dunianya semakin memutar. Lift yang memiliki satu pintu itu terlihat menjadi dua setelah dia mulai berjalan mendekat. Susah payah dirinya mempertahankan kesadaran sembari membawa tubuh Axel di sampingnya, tiba-tiba pintu lift terbuka. Membuat dia bersyukur sekaligus panik dibuatnya.

Pandangan perlahan mulai menggelap, suara samar terdengar meneriakkan permintaan tolong sembari sebuah tangan terasa menahan tubuh Ethan agar tidak terjatuh begitu keras ke arah lantai.

Ethan membisu, wajah perempuan dengan rambut jelaga berponi adalah sesuatu yang terakhir dia lihat sebelum kesadarannya menghilang seutuhnya.

***

Suara seseorang terdengar samar. Berkali-kali mengguncangkan tubuh mungil perempuan yang tengah terlelap dalam keadaan kepala bertumpu pada sebuah meja tanpa alas.

Plastic Memento ✅ [END, UNPUBLISH] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang