"Nawa ayo nak, kamu jangan diam saja. Pergi dari sana cepat nak! Nawa ayo, kamu harus pergi dari sana Nawa! "
"Mama! Kenapa? Apa yang salah, Nawa kan cuma berdiri di sini, kan nggak berbahaya! "
Tiba-tiba goncangan kuat terjadi, tubuhku seperti akan terlempar jauh. Aku berpegangan pada pilar rumah yang tak ku ketahui siapa pemilik rumah ini. Dan akhirnya aku terlepas pada peganganku, tubuhku terjungkal menggelinding."Nawa! Nawa!"
Terasa sebuah tangan menepuk lenganku. Aku membuka mata. Kulihat bang Radyan yang ada di depanku tengah menatap cemas. Ada apa ini? Dengan segera aku berdiri, dengan tergesa-gesa bang Radyan menarikku keluar rumah. Aku tersentak berkali-kali lenganku, kakiku terkena apapun yang aku lewati. Walau sedang setengah berlari seperti ini, aku sempat merasakan goncangan seperti gempa atau mungkin aku hanya sempoyongan karena baru terbangun. Kami berdua sampai di jalan raya, banyak sekali orang datang berbondong-bondong ke arah jalan raya. Aku tak tahu apa yang tengah terjadi, tiba-tiba aku teringat mimpiku tadi. Goncangan keras, apakah benar-benar ada gempa?"Ma, ini ada apa? " tanyaku pada mama.
Mama menoleh dengan wajah cemas. "Ada gempa, Nawa." ucap mamaku mencoba terlihat tenang.Oh benar saja, tak lama kemudian goncangan yang cukup keras kembali terasa, tapi tak seperti saat aku berlari tadi, kali ini lebih besar. Setelah beberapa saat semua kembali tenang. Namun, semua tak langsung kembali, orang-orang menunggu di tepi jalan raya. Tampaknya mereka semua tengah berunding, entah berunding mengenai apa, mungkin saja mengenai gempa tadi. Aku duduk di sebelah mama, mereka juga ikut berunding. Hah, aku tidak peduli, rasa kantukku mulai menyerang saat ini. Malam ini sangat dingin dan aku hanya mengenakan pakaian tidur aku juga sama sekali tak mengenakan sandal. Kunaikan kedua kakiku. Aku memperhatikan beberapa warga yang tengah berbicara serius, aku juga mendengar salah satu dari mereka menyebutkan bahwa pemerintah telah memasang tanda peringatan, ada juga yang bilang bahwa jika terjadi gempa sekali lagi yang lebih besar, bisa saja tempat ini mengalami tsunami. Astaga, jantungku berdebar begitu mendengarnya. Tsunami? Hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mana mungkin aku akan membayangkan tsunami menerjangku saat aku berhadapan dengan laut, kalau aku saja menyukai laut. Sudahlah, aku tak mau menguping pembicaraan para orang dewasa. Hei Nawa seharusnya kau sadar sebentar lagi kau akan menjadi orang dewasa, dan saat ini kau bukan anak kecil lagi. Ya, tentu saja aku segera menyadari itu, tubuhku kutegakkan. Baiklah, mari kita belajar sebagai orang dewasa.
"Ho-" hampir saja aku melakukan hal konyol lagi. Aku mencoba memelesetkan ucapanku tadi. "Hoaamm... Ngantuk."
Mama menoleh padaku dan berkata, "Kamu tidur lagi aja, nanti kalo selesai, kamu, mama bangunin. "
Tentu saja sebenarnya aku sangat ingin, tapi aku tak bisa melakukannya, di tempat yang banyak orang! Aku malu tentunya. Dan aku teringat, bahwa besok aku harus sudah menentukan di mana aku akan bersekolah. Ya ampun rasa bimbang menerjangku kembali. Aku mendongakkan kepalaku. Bagaimana ya baiknya? Aku tak pernah bersekolah di sekolah internasional. Baiklah aku akan tetap pada pendirianku, yaitu bersekolaah di sekolah negeri saja. Tapi bagaimana kalau alat renang dan bukuku dibakar? Kulirik mama yang ada di sampingku yang tengah mengobrol dengan papa dan bang Radyan. Mungkin lebih baik aku sedikit menjauh saja untuk memikirkan kembali masalah tadi.Aku berdiri di dekat plang penunjuk jalan. Udara sungguh dingin saat ini, jam berapa ya sekarang? Kulangkah kan kakiku maju, aku melihat hamparan pasir pantai, di tempat ku berdiri memang dekat dengan pantai, tapi laut tak terlihat karena tertutupi oleh bangungan untuk memarkirkan bus. Aku ingin sekali turun ke sana lalu melihat laut. Mana tau aku menemukan inspirasi. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh kedatangan seseorang di belakangku. Aku berpaling ke belakang, astaga ternyata tetangga ku, dia yang pernah kusebut tengil. Dia tersenyum padaku lalu sedetik kemudiam tertawa. Aneh, kenapa dia tertawa padahal tidak ada yang lucu sama sekali. Aku menatapnya dengan kening berkerut.
"Hahaha kenapa?" tanyanya saat melihat keningku berkerut.
"Kenapa? Yang bener aja ya lo, tiba-tiba dateng ngagetin terus tiba-tiba ketawa. Lo gila apa gimana? "
Dia menggeleng lalu tawanya berhenti, "Nggak lah, gue nggak gila, cuman ekspresi kaget lo tadi lucu banget! " Aku melotot, lihat saja kelakuannya sekarang, benar kan apa yang ku katakan tadi dia memang tengil.
"Lagian ngapa dah bengong sendirian di sini? ""Nggak, lo nggak usah kepo. Kita nggak kenal ya." Ucapku puas.
Dia terlihat sedikit terkejut tapi akhirnya tersenyum, "Nah, iya lupa belum kenalan. Padahal lo di sini udah sebulan dah, kenapa nggak mau gitu ngenalin diri."
Memang apa gunanya jika aku berkenalan dengan pemuda tengil seperti dia itu. Pasti nanti hanya akan menambah pusing diriku.
"Gue Antala, panggil aja Tala. " Dia memperkenalkan dirinya lebih dulu. Aku terdiam memandang tangannya, ingin sekali kutepis tangan itu lalu pergi, tapi aku tidak setega itu, akhirnya kuterima uluran tangannya. "Nawa. "
"Nah gitu dong, lo jangan jutek jutek. Kalo gitu kapan lo punya temen. " Ya apa yang dikatannya ada benarnya juga. Menjawab ucapan Tala tadi, aku mengendikan bahu lalu berbalik memandang betangan pasir.
"Lo ada masalah? " Tanya Tala padaku.
"Ya, gitu deh. "
"Masalah apa? " Wah anak ini bertanya seolah-olah kami adalah teman dekat. Aku memandang dirinya tanpa mau menjawab pertanyaannya. Sepertinya dia mengerti tatapanku barusan.
"Oh oke, maaf. " Aku mengembuskan napas berat.
"Menurut lo kalo disuruh milih sekolah internasional dan sekolah negeri, lo milih yang mana? " tanyaku, ya siapa tahu dia bisa membantu.
"Hm, kalo gue sih sekolah negeri. " Aku menoleh padanya antusias.
" Kalo boleh tau kenapa lo bisa milih sekolah negeri? "
"Karena gue nggak akan sanggup sekolah internasional, gue juga udah biasa sekolah negeri. "
Aku mengangguk paham, wah ternyata si Tala ini sepaham denganku.
"Lo bingung ya mau sekolah di mana? Gue saranin si sekolah di sekolah gue. " Aku mengernyit heran.
"Gue nggak bermaksud apa-apa. Sekolah itu deket dari sini kita cukup jalan kaki kalo mau ke sana."
Aku memikirkan sarannya tadi, tidak ada salahnya juga aku mengikuti sarannya. Kupikirkan saja nanti tentang alat renang dan bukuku. Tekadku sudah bulat, semoga saja di sekolah nanti ada ekstrakurikuler renang. Semoga saja. Lalu terdengar suara bedentang adari arah balai desa, semua warga berhamburan kembali ke rumah masing-masing. Nampaknya tak akan ada gempa susulan lagi. Aku sungguh lega mendengarnya, dengan segera kulangkahkan kakiku menuju rumah. Aku lupa sama sekali dengan Tala yang sedari tadi masih berdiri di dekat plang. Rupannya Tala tengah menunggu semua orang pergi dulu.Aku akhirnya sampai di kamar, sebelum itu aku di minta mama untuk tidak tidur terlalu nyenyak supaya jika ada gempa susulan bisa langsung dibangunkan. Perlahan-lahan mataku mulai terpejam dan sedetik kemudian aku sudah berada di alam mimpi. Aku bermimpi tentang seorang pemuda yang menyelamatkanku dari sebuah gempa besar, lalu aku bersekolah di sekolah renang, dimana-mana hanya ada air!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ernawa
Teen FictionLaut itu kini berubah menjadi hitam pekat. Aku duduk di kapal dengan mata yang berlinangan air mata. Tak kusangka aku akan berakhir seperti ini hanya untuk laut. Laut bisakah kau berhenti? Aku memang menyukaimu tapi ini hal yang salah. Kau adalah fi...