04

117 17 6
                                    

"Sudah dua hari, kita tidak bisa menunggu lagi. Aku dan yang lain harus pergi ke minimarket besok malam."

2 hari berlalu dengan penuh kesibukan. Kalau beberapa hari sebelumnya kedua belas lelaki itu hanya menghabiskan waktu dengan mengobrol dan mengkhawatirkan nasib, 2 hari ini mereka habiskan dengan mempersiapkan rencana kepergian Jihoon dan yang lain secermat mungkin. Membuat rencana, mempersiapkan senjata, membuat daftar barang yang harus diambil, dan berlatih cara menyerang dan melindungi diri—semua itu mereka lakukan dengan bahu membahu selama 2 hari terakhir, untuk mempersiapkan kepergian Jihoon, Yoshi, Junkyu, Mashiho, Jaehyuk, dan Doyoung.

Jihoon, Yoshi, dan Mashiho diputuskan untuk pergi karena mereka paling mampu melawan mereka. Jaehyuk pergi karena harus menunjukkan jalan, ditambah dia adalah pelari yang cepat. Doyoung dibawa untuk berjaga-jaga jika ada yang terluka, karena lelaki itu yang paling menguasai teknik pertolong pertama setelah Yedam—Yedam sendiri diputuskan untuk tidak pergi karena ia adalah otak dan dokter utama dari kelompok mereka. Selain itu, Doyoung memiliki sifat yang selalu tenang dan tidak mudah panik—sifat yang sangat dibutuhkan di tengah kekacauan. Bersama dengan Junkyu, mereka akan bisa bertindak cepat dalam situasi mendesak.

Hyunsuk menghela napas, mengalihkan pandangan ke langit gelap di atas kepala mereka. Tidak sanggup menatap wajah Jihoon yang berdiri di sebelahnya. Hyunsuk tahu jika ia menatap wajah yang lebih muda, ia akan menangis. Sekarang saja matanya sudah terasa berkaca-kaca.

"Besok... kembalilah dengan selamat. Bersama yang lain."

"Aku akan berusaha."

Hyunsuk menggeleng. "Tidak. Berjanjilah padaku kau akan kembali dengan selamat."

Jihoon menatap Hyunsuk, kepahitan tersirat dari matanya. "Hyung tahu aku tidak bisa menjanjikan hal itu, kan?"

"Aku tidak peduli. Bahkan meski itu hanya janji kosong, berjanjilah padaku." Hyunsuk menatap Jihoon dengan matanya yang berkaca-kaca. "Kumohon, berjanjilah kalian akan kembali dengan selamat."

Sejenak keheningan melingkupi kedua pemuda itu. Hingga akhirnya Jihoon mengangguk.

"Aku berjanji."

***

24 jam berlalu dengan cepat. Kini sudah jam 8 malam. Langit sudah sempurna gelap, menandakan telah tiba saatnya bagi keenam lelaki itu untuk memulai misi mereka. Saat ini, kedua belas lelaki itu sedang berkumpul di depan pintu café Jaehyuk.

Yedam menguatkan simpul kain pada lengan Doyoung, memastikan balutannya tidak akan mudah terlepas. Keenam lelaki itu membalut leher, tangan dan kaki mereka dengan kain—ide Jeongwoo supaya jika sampai terkena gigitan, setidaknya mungkin tidak akan menembus sampai kulit.

Sementara itu, Hyunsuk mengecek ulang semuanya.

"Teleponnya sudah tersambung?"

Keenam lelaki itu mengangguk. Mereka memutuskan untuk saling berkomunikasi melalui panggilan dengan menggunakan earphone, supaya bisa terhubung dengan mereka yang di café.

"Senternya menyala semua? Pelindung sudah terpasang dengan aman?"

Sekali lagi, keenam lelaki itu mengangguk.

"Senjatanya?"

Asahi mengecek senjata Jaehyuk. Meski tidak banyak ambil bagian dalam pembuatan rencana dan semacamnya, lelaki itu selalu berusaha ikut membantu yang lain dengan memanfaatkan keterampilannya dalam membuat barang. Selama dua hari kemarin, ia begitu sibuk membuat senjata dari benda apa saja yang ada di café Jaehyuk, sampai-sampai tidak tidur. Untuk Jaehyuk dan Junkyu, ia membuatkan sebuah tongkat kayu yang dipasangi pisau di ujungnya dan bisa mengalirkan listrik dengan menekan tombol, memanfaatkan kabel listrik yang ada di raket nyamuk—entahlah, hanya Asahi yang mengerti cara kerjanya. Yang penting benda itu berfungsi dengan baik.

survive ; treasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang