Bagian 2: Dipercaya

15 2 0
                                    

"Syukurlah kau cepat datang, Her!" Arman (nama menurut mimpiku) berjalan mendekati seorang pria yang sepertinya pemimpin dari orang-orang yang berseragam, "Aku sedikit kesulitan tadi, beruntung ada anak ini!"

Arman menunjukku yang berada di sebelahnya.

"Oh, tak kusangka ada orang yang mau membantumu," sindir Heru sembari menatapku, kemudian menatap pintu toilet, "Mayatnya ada di dalam?"

Arman mengangguk sembari menurunkan kedua tangannya, "Ikuti aku!"

Setelah itu, mereka berdua masuk ke dalam toilet perempuan dengan cepat, mungkin supaya tidak ada orang lain yang melihatnya. Namun, beberapa detik kemudian, saat aku hendak kembali ke kelas sesuai arahan petugas, tiba-tiba Arman muncul dari dalam toilet dan memanggilku.

"Hei, Nak! Kuberi akan kuberi kau sebuah hadiah karena telah membantuku. Masuklah kemari!"

Aku yang saat itu masih kebingungan hanya bisa terdiam sejenak. Serius? Masuk ke dalam? Setelah dia melarang semuanya untuk masuk?

"Cepatlah! Sebelum gurumu tahu! Kau pasti akan menyukai pengalaman bekerja untuk detektif!"

Mendengar kata "detektif", aku berhitung sejenak. Itu menjelaskan sebagian kecil arti dari mimpiku selama ini. Mungkin, dengan mengikuti perkataannya, aku bisa tahu apa yang akan menimpa Arman sebenarnya.

"Hei, cepat!"

Aku mengangguk, buru-buru masuk ke dalam toilet sebelum ada yang menyadariku dan sebelum Arman kembali memaksaku.

Setelah masuk ke dalam toilet perempuan, sebuah bau yang sangat menyengat tercium oleh hidungku. Membuatku buru-buru menutupnya dengan tanganku. Bau apa ini?

"Hei, Arman. Kenapa kau bawa anak itu masuk?"

"Biarlah, Her. Aku mungkin membutuhkan sebuah bantuan untuk kasus kecil ini, dan aku sudah menemukan seseorang yang bisa kupercaya," Arman mengatakan hal itu sembari menggenggam pundakku, "Bagaimana, kau bisa mencium baunya? Tidak sedap bukan?"

Aku mengangguk, "Pak Arman, kau tahu bau apa ini?"

Mendengar pertanyaanku, Arman berseru terkejut, "Hei, kau tahu namaku?"

Aku buru-buru menutup mulutku, keceplosan.

"Wah, wah, ini menarik! Bagaimana kau bisa tahu? Kutebak, kita pernah bertemu? Ah, tidak, aku baru pertama kali ke lingkungan ini, jadi itu tidak mungkin, atau kita pernah bertemu saat menghadiri sebuah acara? Eh, bukan, aku belum pernah diundang sebelumnya."

Arman menyandarkan dagunya dengan jari-jarinya, "Hmm, yah, jangan biarkan misteri kecil seperti ini mengacaukan penyelidikan, walau jujur aku tertarik bagaimana caramu mengetahui namaku," Arkam menoleh ke arah Heru yang terlihat sedang mengawasi salah satu bilik toilet, "Bagaimana menurutmu, Her?"

"Yah... korban murid perempuan kelas 11-B, tetapi aku tidak tahu namanya. Dia sepertinya tewas disebabkan tusukan pisau di perutnya," Heru berhenti sejenak, "Perkiraan waktu meninggal, baru beberapa menit yang lalu. Sekitar jam..."

"09.32."

Heru menoleh, "Eh? Bagaimana kau tahu?"

"Waktu istirahat sekolah sekitar pukul 09.40, tiga menit sebelumnya aku sudah memeriksa kondisi jasad dan menjaga toilet ini, korban memang baru saja tewas. Saat aku dalam perjalanan kemari, aku memutuskan untuk berkeliling sejenak. Semua murid sedang berada di kelas, juga para guru. Jadi aku simpulkan waktu perkiraan kematian korban adalah 09.32, sebelum aku tiba di sekolah ini."

"Apa menurutmu waktunya tidak lebih lama? mungkin beberapa menit sebelum itu?"

Arman menggeleng, "Jika lebih lama dari dugaanku, seharusnya toilet ini suda ramai sebelum aku kemari."

"Oh..."

Tit tut tit tutt tit, tit tut tit tutt tit, tit tit tut tit tut tit tut

"Ah, ini dari klien! Aku keluar dulu, Her. Kau bisa suruh anak buahmu untuk masuk! Nak, ikut aku!"

Aku mengangguk, mengikuti langkah Arman yang sudah keluar dari toilet, kemudian berjalan cepat menuju keluar gedung sekolah. Langkah kakinya cukup lebar dan lebih cepat dibanding orang dewasa lain yang pernah kutemui. Perawakannya yang kurus, terlihat cocok dengan jaket coklat dan celana panjang yang ia kenakan. Arman juga membawa sebuah tas pinggang kecil, dan dari dalam tas tersebut menyembul bagian pegangan kacamata pembesar, layaknya detektif yang sering kulihat dalam film.

"Ya, aku sudah menemukan anak anda, Bu. Namun, dengan sangat menyesal aku harus mengatakan ini. Anak anda telah tewas terbunuh," ucap Arman kepada seseorang, sepertinya ibu-ibu.  Setelah itu, kudengar suara seperti tangisan dari balik ponsel, dibalas oleh Arman yang mengatakan baik untuk beberapa kali.

Setelah selesai dengan orang yang menghubunginya, Arman kini menutup ponselnya, kemudian mengeluarkan sebuah foto dari dalam sakunya, dan menunjukkannya kepadaku.

"Baik, Nak. Kau mengenal anak ini?"

Aku menatap foto itu lebih seksama, kemudian mengangguk.

"Kau tahu mayat siapa yang ada di toilet itu?"

Untuk pertanyaan ini, aku ragu-ragu mengangguk. Walau tidak melihat wajahnya, kemungkinan besar pasti murid perempuan yang ada di foto inilah korban pembunuhan tadi. Eh, bentar? Itu sungguhan kasus pembunuhan bukan? Rasa-rasanya tidak mungkin orang yang berada di sekolah ini melakukan tindakan tersebut.

"Aku tahu pikiranmu itu, Nak. Mungkin orang-orang seperti kalian tidak akan memiliki niat untuk melakukan pembunuhan, tetapi ingat! Bisikan setan selalu bisa membuatmu bertindak kelewatan," Arman mengatakan hal itu dengan nada serius, "Nah, kau tahu siapa saja, yang sekiranya memiliki hubungan erat dengan anak ini. Menurutku, anak ini pasti bergabung dengan sebuah geng, benar?"

Aku kembali mengangguk.

"Bagus, ada berapa orang?"

Aku mengangkat dua jariku.

"Bagus! Ehm..."

"Tegar Saputra, Pak Arman."

"Ah, iya, Tegar! Bagus, Tegar! Kau sudah mengurangi sebagian besar pekerjaanku. Nah, setelah ini, bisakah aku meminta bantuanmu lagi?"

"Apa... itu..?"

"Tidak sulit, hanya menemukan sebuah bukti penting."

Detective ArmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang